BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia,
selain terkenal karena kekayaan dan keindahan alamnya, juga merupakan negara
yang rawan terhadap bencana. Hal ini disebabkan posisi geografis dan
geodinamiknya, sehingga Indonesia memiliki aktivitas vulkanik dan kegempaan
yang cukup tinggi. Posisi ini juga menyebabkan bentuk relief Indonesia yang
sangat bervariasi, mulai dari pegunungan dengan lereng yang curam sampai daerah
landai di sepanjang garis pantai yang sangat panjang, yang kesemuanya memiliki
kerentanan terhadap ancaman bahaya tanah longsor, banjir, abrasi dan tsunami.
Kondisi hidrometeorologis yang beragam juga kadang-kadang menimbulkan ancaman
bahaya banjir dan longsor, angin ribut atau angin puting beliung, bahaya
kekeringan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lain-lain. Ancaman lainnya
adalah bencana yang disebabkan oleh berbagai kegagalan teknologi.
Umumnya
bencana yang terjadi mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat baik berupa
korban jiwa manusia, kerugian harta benda maupun kerusakan lingkungan serta
musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai antara lain kerusakan
sarana dan prasarana serta fasilitas umum, penderitaan masyarakat dan
sebagainya.
Terjadinya
bencana besar tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2004 dan gempa
bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kabupaten Klaten) pada tahun 2006 dan
beberapa bencana lain sebelum dan sesudahnya telah mendorong bangsa Indonesia
untuk menerima kenyataan hidup berdampingan dengan bencana. Sebagai konsekuensi
atas penerimaan tersebut, bangsa Indonesia telah melahirkan Undang Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Untuk merealisasikan
Undang-Undang tersebut, pada tahun 2008 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah
Nomor 22 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor
23 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah
dalam Penanggulangan Bencana.
Dari
latar belakang diatas, pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan
menjadi landasan atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko
bencana dalam penanggulangan bencana yang tepat dan akurat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana
manajemen penanggulangan pasca bencana ?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Memberikan
pengetahuan dasar tentang manajemen pasca bencana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Manajemen Bencana
Manajemen PB adalah serangkaian
kegiatan yang berkesinambungan yang dikelola untuk pengendalian dampak bencana
untuk mempersiapkan kerangka kerja bagi masyarakat untuk menghindari atau
mengatasi dampak bencana yang melanda wilayah/lingkungannya;
Manajemen PB adalah serangkaian
kegiatan, yang dilaksanakan sejak sebelum terjadinya suatu peristiwa bencana,
selama kejadian bencana, dan sesudah terjadinya bencana, dalam rangka mencegah,
mengurangi dan mengatasi dampak bencana, yang ditimbulkannya;
2.2. Tujuan
Manajemen Bencana
Mengurangi, menghindari tingkat ancaman
terhadap kelangsungan hidup manusia, potensi kerugian fisik dan ekonomi serta kerusakan
infrastruktur;
Mengurangi dampak yang merugikan
terhadap Individu;
Mencapai upaya pemulihan yang cepat dan
berkelanjutan; à Tujuan utama manajemen pasca
bencana
2.3. Pasca Bencana
Kondisi pasca bencana
adalah keadaan suatu wilayah dalam proses pemulihan setelah terjadinya bencana.
Pada kondisi ini dipelajari langkah apa yang dilakukan oleh berbagai pihak
terkait dalam hal upaya untuk mengembalikan tatanan masyarakat seperti semula sebelum
terjadinya bencana. Beberapa hal yang dipelajari dalam kondisi pasca bencana
ini adalah kecepatan dan ketepatan terutama dalam hal:
1. Penanganan korban
(pengungsi)
2. Livelyhood recovery
3. Pembangunan
infrastruktur
4. Konseling trauma
5. Tindakan-tindakan
preventif ke depan
6. Organisasi
kelembagaan
7. Stakeholders yg
terlibat
Dalam hal ini,
dipelajari kebijakan pembangunan apa yang telah dilakukan sehingga secara
positif turut mencegah/menghambat terjadinya bencana, serta kebijakan pembangunan
apa yang telah dilakukan sehingga secara negatif turut memacu/menyebabkan
timbulnya bencana. Ruang lingkup studi ini meliputi kajian berbagai aspek
penanggulangan bencana alam yang terjadi di Indonesia, Fase pasca bencana:
meliputi penanggulangan korban (misalnya pengungsi), pendanaan, rehabilitasi
bangunan, rekonstruksi fisik dan non fisik, organisasi dan kelembagaan, dan
social capital (Sunarti, 2009).
2.4. Manajemen Pasca Bencana
Manajemen pemulihan
(pasca bencana) adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana,
dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah
terjadinya bencana dengan fase-fasenyanya yaitu :
a.
Rehabilitasi adalah
perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
b.
Rekonstruksi adalah
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
2.5. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah
perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Rehabilitasi dilakukan
melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan
sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial
psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan
sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi
pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Dalam penentuan
kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan adalah sebagai berikut :
·
Menempatkan masyarakat
tidak saja sebagai korban bencana, namun juga sebagai pelaku aktif dalam
kegiatan rehabilitasi.
·
Kegiatan rehabilitasi
merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan terintegrasi dengan kegiatan
prabencana, tanggap darurat dan pemulihan dini serta kegiatan rekonstruksi.
·
“Early recovery”
dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera setelah terjadi bencana.
·
Program rehabilitasi
dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai dengan Perpres tentang
Penetapan Status dan Tingkatan Bencana) dan diakhiri setelah tujuan utama
rehabilitasi tercapai.
Prinsip – prinsip yang diutamakan dalam
Rehabilitasi :
a.
Partisipatif,
artinya dalam setiap tahapan proses (perencanaan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban) selalu melibatkan masyarakat sebagai pelaku sekaligus
penerima manfaat.
b.
Transparan
dan Akuntabel, artinya dalam setiap langkah dan
kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat luas.
c.
Sederhana,
artinya pelaksanaan seluruh proses kegiatan diupayakan sederhana dan bisa
dilakukan masyarakat dengan tahap mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar
pelaksanaan program rehabilitasi ini.
d.
Akuntabilitas,
artinya seluruh proses pelaksanaan dan pendanaan dilakukan dengan penuh
tanggung jawab.
Perlakuan
pola khusus bentuk kegiatan rehabilitasi pasca bencana yang akan diberlakukan,
didasarkan atas hasil kajian masyarakat melalui Musyawarah Desa (MD) dan
Musyawarah Antar Desa – (MAD). Perlakuan pola khusus ini meliputi 2 tahapan
pokok :
1.
Persiapan Pemulihan
Terdiri
dari serangkaian kegiatan yang merupakan bentuk respon cepat sebagai bagian
dari upaya pemulihan (recovery)
sebelum dilakukan rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana yang lebih
terencana. Tahapan ini dilakukan melalui proses review secara partisipatif dampak bencana dan kegiatan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang sudah
direncanakan dan atau sedang dilaksanakan.
Kegiatan
tindak cepat adalah kegiatan-kegiatan
yang dapat secara cepat diidentifikasi dan dikuantifikasi bersama masyarakat tanpa
harus menunggu selesainya semua pendataan kerusakan sarana prasarana social ekonomi
pedesaan. Dari hasil review tersebut,
masyarakat bisa memilih dan memutuskan pendanaan kegiatan-kegiatan yang dapat
memberikan pendapatan kepada warga/keluarga yang terkena dampak bencana,
terutama misalnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara padat karya.
Kegiatan-kegiatan
padat karya yang dilakukan misalnya : kegiatan untuk pembersihan puing,
penataan lokasi atau padat karya untuk pemulihan cepat sarana-prasarana umum
perdesaan yang rusak akibat bencana (jalan tertimbun longsoran, pembersihan
kawasan pemukiman yang dapat dipergunakan kembali). Secara parallel, sambil
melakukan kegiatan tindak cepat juga terus dilakukan pendataan atau pemetaan
terhadap sarana – prasana umum social atau ekonomi yang mengalami kerusakan
secara lebih teliti, sebagai bahan perencanaan untuk tahap rehabilitasi
selanjutnya.
2.
Rehabilitasi
Ruang
lingkup pelaksanaan dalam rehabilitasi adalah :
1. Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Perbaikan
lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik untuk kawasan
pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan gedung.
Indikator
yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah kondisi lingkungan yang
memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem
2. Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum
Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur
dan fasilitas fisik yang menunjang kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian
masyarakat. Prasarana umum atau jaringan infrastruktur fisik disini mencakup :
jaringan jalan/ perhubungan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan
komunikasi, jaringan sanitasi dan limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian.
Sarana
umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup : fasilitas kesehatan, fasilitas
perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran pemerintah, dan
fasilitas peribadatan.
3. Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah
Masyarakat
Yang
menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana yang rumah/
lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat sedang akibat
bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap tinggal di tempat
semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik bangunan sebagaimana
Pedoman Teknis (DepPU, 2006) dan/ atau kerusakan pada halaman dan/ atau
kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu penyelenggaraan fungsi huniannya.
Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh diarahkan untuk rekonstruksi.
Tidak
termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah rumah/ lingkungan dalam
kategori:
· Pembangunan kembali (masuk dalam
rekonstruksi)
· Pemukiman kembali (resettlement dan
relokasi)
· Transmigrasi ke luar daerah bencana
4. Pemulihan Sosial Psikologis
Pemulihan
sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena
dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal. Sedangkan kegiatan
psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat agar dapat
kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan ini dapat dilakukan
oleh siapa saja yang sudah terlatih.
Pemulihan
sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial
seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak
psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental.
5. Pelayanan Kesehatan
Pemulihan
pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali segala bentuk pelayanan
kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum terjadi bencana.
Pemulihan
sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk memulihkan
kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi : SDM Kesehatan,
sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan masyarakat.
6. Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Kegiatan
rekonsiliasi adalah merukunkan atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang
terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik. Sedangkan kegiatan
resolusi adalah memposisikan perbedaan pendapat, perselisihan, pertengkaran
atau konflik dan menyelesaikan masalah atas perselisihan, pertengkaran atau
konflik tersebut.
Rekonsiliasi
dan resolusi ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah bencana untuk
menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta memulihkan kondisi
sosial kehidupan masyarakat.
7. Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya
Pemulihan
sosial ekonomi budaya adalah upaya untuk memfungsikan kembali kegiatan dan/
atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah bencana.
Kegiatan
pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk menghidupkan kembali
kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah bencana
seperti sebelum terjadi bencana.
8. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pemulihan
keamanan adalah kegiatan mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat
sebagaimana sebelum terjadi bencana dan menghilangkan gangguan keamanan dan
ketertiban di daerah bencana.
Pemulihan
keamanan dan ketertiban ditujukan untuk membantu memulihkan kondisi keamanan
dan ketertiban masyarakat di daerah bencana agar kembali seperti kondisi
sebelum terjadi bencana dan terbebas dari rasa tidak aman dan tidak tertib.
9. Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Indikator
yang harus dicapai pada pemulihan fungsi pemerintahan adalah :
· Keaktifan kembali petugas
pemerintahan.
·
Terselamatkan dan terjaganya
dokumen-dokumen negara dan pemerintahan.
· Konsolidasi dan pengaturan tugas pokok
dan fungsi petugas pemerintahan.
· Berfungsinya kembali peralatan
pendukung tugas-tugas pemerintahan.
· Pengaturan kembali tugas-tugas
instansi/lembaga yang saling terkait.
10. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik
Pemulihan
fungsi pelayanan publik adalah berlangsungnya kembali berbagai pelayanan publik
yang mendukung kegiatan/ kehidupan sosial dan perekonomian wilayah yang terkena
bencana.
Pemulihan
fungsi pelayanan publik ini meliputi : pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, pelayanan perekonomian, pelayanan perkantoran umum/pemerintah, dan
pelayanan peribadatan.
2.6. Rekontruksi
Rekonstruksi adalah
perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik,
konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua
prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun
masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan
partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
wilayah pasca bencana.
Rencana Rekonstruksi
adalah dokumen yang akan digunakan sebagai acuan bagi penyelenggaraan program
rekonstruksi pasca-bencana, yang memuat informasi gambaran umum daerah pasca
bencana meliputi antara lain informasi kependudukan, sosial, budaya, ekonomi,
sarana dan prasarana sebelum terjadi bencana, gambaran kejadian dan dampak
bencana beserta semua informasi tentang kerusakan yang diakibatkannya,
informasi mengenai sumber daya, kebijakan dan strategi rekonstruksi, program
dan kegiatan, jadwal implementasi, rencana anggaran, mekanisme/prosedur kelembagaan
pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi
adalah semua unit kerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi, di bawah
koordinasi pengelola dan penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
pasca bencana pada lembaga yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan
bencana di tingkat nasional dan daerah.
Lingkup Pelaksanaan Rekontruksi :
1.
Program Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk
memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan kembali secara permanen prasarana
dan sarana permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat (kesehatan,
pendidikan dan lain-lain), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan perhubungan,
air bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan telekomunikasi dan
lain-lain), prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya dan lain-lain.) yang
rusak akibat bencana, agar kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik
dari kondisi sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik
mencakup, tapi tidak terbatas pada, kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana
fisik dengan lebih baik dari hal-hal berikut:
o
Prasarana dan sarana
o
Sarana sosial
masyarakat;
o
Penerapan rancang
bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana.
2.
Program Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan
untuk memperbaiki atau memulihkan kegiatan pelayanan publik dan kegiatan
sosial, ekonomi serta kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan,
pendidikan, perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan
kondisi mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali ke
kondisi pelayanan dan kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari kondisi
sebelumnya.
Cakupan kegiatan rekonstruksi non-fisik
di antaranya adalah:
·
Kegiatan pemulihan
layanan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
·
Partisipasi dan peran
serta lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat.
·
Kegiatan pemulihan
kegiatan perekonomian masyarakat.
·
Fungsi pelayanan publik
dan pelayanan utama dalam masyarakat.
·
Kesehatan mental
masyarakat.
Prinsip
– prinsip pemulihan :
Berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2010
Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca
Bencana, maka prinsip dasar penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana adalah
1.
Merupakan tanggung
jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah
2.
Membangun menjadi lebih
baik (build back better) yang terpadu dengan konsep pengurangan risiko bencana
dalam bentuk pengalokasian dana minimal 10% dari dana rehabilitasi dan
rekonstruksi
3.
Mendahulukan
kepentingan kelompok rentan seperti lansia, perempuan, anak dan penyandang
cacat
4.
Mengoptimalkan
sumberdaya daerah
5.
Mengarah pada
pencapaian kemandirian masyarakat, keberlanjutan program dan kegiatan serta
perwujudan tatakelola pemerintahan yang baik
6.
Mengedepankan keadilan
dan kesetaraan gender.
Mengacu
pada arahan Presiden Republik Indonesia
pada Sidang Kabinet Paripurna 25 November 2010, maka pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi agar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar,
sebagai berikut:
1.
Dilaksanakan dengan
memperhatikan UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
2.
Dilaksanakan dengan memperhatikan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
3.
Dilaksanakan dengan
memperhatikan Undang Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam
proses perencanaan tata ruang, proses pemanfaatan ruang dan proses pengendalian
pemanfaatan ruang;
4.
Dilaksanakan dengan
memperhatikan UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil dalam perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil;
5.
Dilaksanakan dengan
memperhatikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan
: perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum,
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis,
pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial
ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi
pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan
dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan
berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana
dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan
sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat
sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri
atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.
B. Saran
Setelah
membaca makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi pembaca khususnya tentang pemulihan pasca bencana.
3 komentar:
Mantap.luar biasa
maaf kak mau tanya, sman pakai buku atau rujukan apa kak?
mau tanya kak, pakai rujukan buku apa kak?
Posting Komentar