KONSEP DASAR
1. PENDAHULUAN
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran,
biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global.
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit dan mempunyai banyak
penyebab yang kesemuannya menggambarkan pola gejala yang sama yaitu berhubungan
dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif. Namun secara klinis
delirium kurang dikenali dan kurang didiagnosis.
Delirium merupakan sindroma mental organik akut yang
berakibat hendaya kognitif yang menyeluruh. Delirium dianggap satu
pertanda disfungsi otak akut dan oleh sebab itu suatu kedaruratan medik. Gangguan
fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yang menghambat
metabolisme otak menyebabkan timbulnya keluhan utama berupa penurunan
kesadaran, sehingga penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi
dengan baik, bicaranya inkoheren, bingung, cemas, gelisah dan panik. Kondisi
ini dapat terjadi pada semua usia namun yang paling sering pada usia diatas 60
tahun.
Delirium bermula dengan tiba-tiba (dalam beberapa jam atau
hari), perjalanan yang singkat, dan berubah-ubah intensitinya (berfluktuasi)
dan pulih dengan cepat apabila penyebabnya dapat diidentifikasi dan
dihilangkan. Walaupun begitu setiap ciri-ciri ini boleh berbeda dari satu
penyakit kepada penyakit yang lain.
2.
DEFINISI
Delirium adalah suatu sindrom mental organik akut
dengan gejala utama adanya penurunan kesadaran (kesadaran berkabut/clouding of
conciousness) yang disertai dengan gangguan atensi, persepsi, orientasi, proses
pikir, daya ingat (memori), perilaku psikomotor (agitasi) dan siklus tidur.
Sindrom ini juga dikenali oleh
nama-nama lain seperti acute confusional state, acute brain syndrome,
metabolic encephalopathy, toxic psychosis, cerebral insufisiency syndrome dan
acute brain failure.
3.
EPIDEMIOLOGI
Delirium adalah gangguan yang sering terjadi. Sekitar
10-15 % ditemukan dari pasien dibangsal bedah umum, 15–25 % dari bangsal medis
umum (Penyakit Dalam), 30 % pada pasien yang dirawat di ICU bedah dan jantung,
40–50 % pada pasien yang menerima perawatan bedah untuk fraktur di panggul, 20
% pada pasien yang menderita luka bakar dan 30 % lagi dari pasien AIDS yang
diopname.
Usia tua juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan
delirium. Lebih kurang 30-40% pasien yang umurnya lebih dari 65 tahun mengalami
satu episode delirium apabila berada di bangsal perawatan. Faktor predispossi
lain adalah usia muda seperti anak-anak, adanya trauma sebelumnya pada otak
(contohnya dementia, cardiovascular disease, tumour), pernah mengalami
delirium, ketergantungan pada alkohol, diabetes, kanker, kemerosotan pacaindera
(contohnya buta) dan malnutrisi.
4.
ETIOLOGI
Delirium mempunyai berbagai macam penyabab.
Penyababnya bisa berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik,
intoksikasi akut (reaksi putus obat) dan zat toksik. Penyabab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Secara
lengkap dan lebih terperinci penyabab delirium dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 4.1. Penyebab Delirium
A. Penyebab Intrakranial :
Epilepsi
dan keadaan paska kejang
Trauma otak (terutama gegar otak) Infeksi Meningitis Ensefalitis Neoplasma Gangguan vaskular
B.
Penyebab Ekstrakranial :
Obat-obatan
(meggunakan atau putus obat) dan racun
Obata antikolinergik Antikonvulsan Obat antihipertensi Obat antiparkinson Obat antipsikosis Glikosida jantung Simetidin Klonidin Disulfiram Insulin Opiat Fensiklidin Fenitoin Ranitidin Salisilat Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik Steroid Racun Karbon monoksida Logam berat dan racun industri lain Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi) Hipofisis Pankreas Adrenal Paratiroid Tiroid Penyakit organ non endokron Hati Ensefalopati hepatik Ginjal dan saluran kemih Ensefalopati uremikum Paru Narkosis karbon dioksida Hipoksia Sistem Kardiovaskular Gagal jantung Aritmia Hipotensi Penyakit Defisiensi Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam folat Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis Ketidakseimbangan elektrolit dengan penybab apapun Keadaan pascaoperatif Trauma (kepala atau seluruh tubuh) |
Neurotransmiter utama yang berperan terhadap timbulnya
delirium adalah asetilkolin dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio
retikularis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa berbagai
faktor yang menginduksi delirium diatas menyebabkan penurunan aktivitas
asetilkolin di otak Mekanisme patofisiolagi lain khususnya berkenaan
dengan putus zat/alkohol adalah hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron
nonadrenergiknya. Neuotransmiter lain yang juga berperan adalah serotonin
dan glutamat.
5.
GAMBARAN KLINIS
Secara global gejala delirium terdiri dari gejala
psikiatrik umum berupa kelainan mood, persepsi dan perilaku dan gejala
neurologik umum yang berupa tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan
inkontinensia urin. Gejala dari delirium yang paling utama adalah penurunan
kesadaran. Anxietas, mengantuk, gangguan tidur, halusinasi, mengigau dan
kegelisahan biasanya mendahului keadaan delirium. Gejala-gejala lainnya berupa ketidakmampuan
penderita mengenali orang (disorientasi) dan berkomunikasi dengan baik,
bingung, panik, bicara komat-kamit dan inkoherensi.
Selanjutnya
gejala-gejala delirium menurut urutan kekhasannya adalah sebagai berikut:
1.
Gangguan kesadaran (clouding of conciousness)
2.
Gangguan persepsi (ilusi, halusinasi terutama halusinasi
penglihatan).
3.
Gangguan orientasi, mula-mula disorientasi waktu.
4.
Gangguan proses pikir dan pembicaraan (gangguan konsentrasi,
perseverasi, flight of ideas, inkoherensi, delusi).
5.
Gangguan memori.
6.
Gangguan afek.
7.
Gangguan psikomotor.
8.
Disfungsi otonomik, sulit kontrol BAK.
9.
Gangguan siklus tidur bangun.
Delirium biasanya hilang bila penyakit fisik yang
menyebabkannya sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan
sesudahnya. Bila diakibatkan oleh proses yang langsung mengenai otak maka
proses penyembuhannya pun tergantung dari besar kecilnya kerusakan/lesi yang
ditinggalkan.
6.
PEDOMAN DIAGNOSTIK
Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang
ringan atau yang berat haruslah ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu
sesuai dengan pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III :
1. Gangguan kesadaran dan
perhatian :
·
Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma.
·
Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Gangguan kognitif secara
umum :
·
Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi (terutama halusinasi
visual)
·
Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa
waham yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan
·
Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya
ingat jangka panjang relatif masih utuh.
·
Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat
disorientasi tempat dan orang.
3. Gangguan psikomotor :
·
Hipoaktivitas atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas
yang tidak terduga dari satu ke yang lain.
·
Waktu bereaksi yang lebih panjang
·
Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
·
Reaksi terperanjat meningkat
4. Gangguan siklus tidur-bangun :
·
Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama
sekali atau terbaliknya siklus tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).
·
Gejala yang memburuk pada malam hari
·
Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
5. Gangguan emosional : misalnya depresi,
ansietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis atau rasa kehilangan akal.
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya
hilang timbul sepanjang hari, dan keadan ini berlangsung kurang dari 6 bulan.
7.
DIAGNOSIS BANDING
Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya
gangguan kognitif dan bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan
laboratorium disesuaikan dengan keadaan klinis. Dari gejala khas diatas (onset
yang cepat, perjalanan penyakitnya yang hilang timbul sepanjang hari dan
berlangsung kurang dari 6 bulan), riwayat penyakit fisik dan otak yang
mendasari (disfungsi otak) dan gambaran EEG berupa perlambatan aktivitas, maka
diagnosis delirium patut dipercaya dan ditegakkan.
Delirium harus dibedakan dari penyakit atau sindrom
mental organik lainnya yaitu demensia, gangguan psikotik/skizofrenia,
depresi dan keadaan putus zat dengan delirium.
Demensia. Demensia dibedakan dari delirium yaitu dari onsetnya yang
perlahan-lahan, lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi
selama perjalanan sehari.1 Pada demensia penyakitnya bersifat kronik
progresif dan disertai gangguan fungsi luhur/fungsi kortikal yang multipel
berupa hendaya/deteorisasi fungsi intelaktual baik daya ingat atau daya pikir
sehingga kegiatan sehari-hari menjadi terganggu. Tidak terdapatnya
gangguan kesadaran juga membedakannya dari delirium. Gejala dan hendaya
diatas harus sudah nyata untuk sekurang-kurangnya 6 bulan.
Gangguan psikotik/skizofrenia. Pada skizofrenia gejala berupa
halusinasi dan waham biasanya lebih konstan dan terorganisasi dengan baik
dibandingkan delirium. Juga, pada pasien skizofrenik biasanya tidak
mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau orientasinya.
Depresi. Pasien dengan gejala hipoaktif mungkin tampak agak mirip
dengan pasien yang depresi berat tetapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Pada
umumnya, pasien dengan disfungsi kognitif yang berhubungan dengan depresi
mempunyai gejala depresif yang menonjol dan lebih konstan dibandingkan dengan
pasien delerium dan cenderung mempunyai riwayat episode depresif di masa lalu,
pada pemeriksaan CT-Scan dan EEG normal.
Keadaan putus zat dengan delirium. Delirium tremens
merupakan akibat dari putus alkohol secara absolut atau relatif pada pengguna
dengan ketergantungan alkohol yang kronis. Keadaan ini disertai gaduh
gelisah toksik yang berlangsung singkat tetapi membahayakan jiwa
penderita. Gejala prodromal berupa insomnia, gemetar dan ketakutan, onset
terjadi sesudah putus alkohol yang biasanya didahului oleh kejang.
Biasanya delirium muncul secara tiba-tiba (dalam beberapa
jam atau hari). Perjalanan penyakitnya singkat dan berfluktuasi.
Perbaikan cepat terjadi apabila faktor penyebabnya dapat diketahui dan
dihilangkan. Walaupun biasanya delirium terjadi mendadak, gejala-gejala
prodromal mungkin telah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Gejala delirium
biasanya berlangsung selama penyebabnya masih ada namun tidak lebih dari satu
minggu.
Prognosanya tergantung pada dapat diatasi atau tidaknya
penyakit yang mendasarinya dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh dari
penyakit tersebut. Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum dapat
ditunjukkan dengan penelitian terkontrol yang cermat. Tetapi
observasi klinis yang telah disahkan oleh suatu penelitian menunjukkan bahwa
periode delirium kadang-kadang diikuti oleh depresi atau gangguan stres
paskatraumatik.
9.
TERAPI
Antipsikosis berpotensi tinggi merupakan pilihan
utama. Zat ini mempunyai efek antikolinergik yang sedikit dan jarang
menurunkan ambang kejang dibandingkan dengan antipsikosis yang berpotensi
rendah. Obat yang terpilih untuk mengatasi gejala psikosisnya adalah
Haloperidol.
Tergantung pada usia, berat badan atau kondisi fisik pasien,
dosis Haloperidol (Haldol, Serenace) awal dapat terentang 2
sampai 10 mg intramuskular dengan pengulangan setiap 1 jam, jika pasien tetap
teragitasi. Penulis lain ada yang menganjurkan dosis 2 sampai 5 mg
intramuskular, dapat diulang setelah 30 menit bila dosis pertama kurang
efektif. Segera setelah pasien tenang medikasi oral dalam cairan konsentrat
atau dalam bentuk tablet oral dapat dimulai. Untuk mencapai efek terapi
sebaiknya dosis oral harus 1,5 lebih banyak dari dosis parenteral. Dosis
efektif harian haloperidol terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar
pasien.
Antipsikosis lebih jarang mempengaruhi fungsi kognitif
pasien dibandingkan dengan benzodiazepin. Namun demikian golongan phenothiazin
harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai
dengan aktivitas kolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine
dengan waktu paruh pendek atau dengan hidroksizin (Vistaril)
dengan dosis 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh
panjang (misalnya lorazepam) harus dihindari kecuali digunakan sebagai
pengobatan penyakit dasar (sebagai contoh pengobatan putus alkohol).1
Pasien yang mengalami sindroma putus zat alkohol atau
hipnotik-sedatif lebih efektif bila diobati dengan Lorazepam (Ativan)
dengan dosis 1 sampai 2 mg peroral, intramuskular atau intravena lambat dan
diulang setelah 1 jam seperlunya. Obat ini juga digunakan untuk
pasien agitasi atau gaduh gelisah bila alergi/kontraindikasi terhadap
antipsikosis. Lorazepam bekerja lebih efektif sebagai
anti ansietas dari pada sebagai anti insomnia dan relatif aman untuk
pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal.
Bila delirium ini merupakan akibat dari toksisitas
antikolinergik, bisa diberikan fisostigmin salisilat (Antilirium)
dosis 1 sampai 2 mg intravena atau intramuskular dengan pengulangan dosis
setiap 15 sampai 30 menit.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Indentias klien meliputi nama, umur, jenis
kelamin, suku bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan,
pekerjaan dan alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang
menyebbkan klien datang berobat (menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama
adalah kesadaran menurun.
3. Faktor predisposisi
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai
dasar pembuatan diagnosis serta menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan
struktur kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan
gangguan jiwa yang terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat
diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan
intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih ditentukan oleh keadaan
jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya, keadaan psikososial,
sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta
ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau
nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi
jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama
mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak
dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus,
endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).
4. Pemeriksaan fisik
Kesadran yang menurun dan sesudahnya terdapat
amnesia. Tensi menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang
menurun dan tidak mau makan.
5. Psikososial
a. Genogram Dari hasil penelitian ditemukan
kembar monozigot memberi pengaruh lebih tinggi dari kembar dizigot .
b. Konsep diri
·
Ganbaran diri, tressor yang menyebabkan
berubahnya gambaran diri karena proses patologik penyakit.
·
Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat
perkembangan individu.
·
Peran, transisi peran dapat dari sehat ke
sakit, ketidak sesuaian antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang
ragu diman aindividu tidak tahun dengan jelas perannya, serta peran berlebihan
sementara tidak mempunyai kemmapuan dan sumber yang cukup.
·
Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai
dengan kenyataan dan kemampuan yang ada.
·
Harga diri, tidakmampuan dalam mencapai
tujuan sehingga klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
c. Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat
seseorang disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi. Konsep diri
dibentuk oleh pola hubungan sosial khususnya dengan orang yang penting dalam
kehidupan individu. Jika hubungan ini tidak sehat maka individu dalam
kekosongan internal. Perkembangan hubungan sosial yang tidak adeguat
menyebabkan kegagalan individu untuk belajar mempertahankan komunikasi dengan
orang lain, akibatnya klien cenderung memisahkan diri dari orang lain dan hanya
terlibat dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan kontrol orang lain.
Keadaa ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan dangkal dan
tergantung.
d. Spiritual
Keyakina klien terhadapa agama dan
keyakinannya masih kuat.a tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksnakan
ibadatnmya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
6. Status mental
a. Penampila klien tidak rapi dan tidak mampu
utnuk merawat dirinya sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat
dinmanifestasikan adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif,
manerisme, otomatis, steriotipi.
d. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.
e. Afek dan emosi.
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha
membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaa
tersebut dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan afek
yang digunakan klien untukj melindungi dirinya, karena afek yang telah berubahn
memampukan kien mengingkari dampak emosional yang menyakitkan dari lingkungan
eksternal. Respon emosional klien mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena
datang dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul,
datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen.
f. Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurawng
kooperatif, kontak mata kurang.
g. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman
emosional terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau
kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan
pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang dan berat atau
berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering ditemukan adalah
halusinasi.
h. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar
berperilaku kohern, tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien
terhadap realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien
merupakan penilaian subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian
yang tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang kebenaran
realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang dapat
dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran magis,
delusi (waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir
abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit misalnya ekholali,
clang asosiasi dan neologisme.
i. Tingkat kesadaran
Kesadran yang menurun, bingung. Disorientasi
waktu, tempat dan orang.
j. Memori
Gangguan daya ingat yang baru saja terjadi
)kejadian pada beberapa jam atau hari yang lampau) dan yang sudah lama berselang
terjadi (kejadian beberapa tahun yang lalu).
k. Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
l. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan dalam penilaian atau
keputusan.
7. Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur, klien sukar tidur karena cemas,
gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah . Kadang-kadang terbangun tengah
malam dan sukar tidur kemabali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam,
sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan, klien tidak mempunyai selera
makan atau makannya hanya sedikit, karea putus asa, merasa tidak berharga,
aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya,
kadang-kdang lebih sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres.
Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.
8. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tridak berhasil,
kegagalan maka ia akan menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan
mengembangkan berbagai pola koping mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara
konstruktif merupakan faktor penyebab primer terbentuknya pola tiungkah laku
patologis. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium
adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras
(ngomel-ngomel) dan menutup diri.
9. Dampak masalah
a. Individu
·
Perilaku, klien muningkin mengbaikan atau
mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatas sehari-hari seperti kebersihan diri
misalnya tidak mau mandi, tidak mau menyisir atau mengganti pakaian.
·
Kesejahateraan dan konsep diri, klien merasa
kehilangan harga diri, harga diri rendah, merasa tidak berarti, tidak berguna
dan putus asa sehingga klien perlu diisolasi.
·
Kemadirian , klien kehilangan kemandirian
adan hidup ketergantungan pada keluarga atau oorang yang merawat cukup tinggi,
sehingga menimbulkan stres fisik.
10. Diagnosa Keperawatan
a.
Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan berhubungan dengan berespon pada pikiran delusi dan
halusinasi.
b.
Koping individu yang tidak efektif
berhubungan dengan ketidakmampuan cara mengekspresikan secara konstruktif.
c.
Perubahahn proses berpikir berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mempercayai orang
d.
Risiko terjadi perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, status emoosional yang
meningkat.
e.
Kesukaran komunikasi verbal berhubungan
dengan pola komunikasi yang tak logis atau inkohern dan efek samping
obat-obatan, tekanan bicara dan hiperaktivitas.
f.
Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial)
berhubungan dengan sistem penbdukung yang tidak adequat.
g.
Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan
kemauan yang menurun
h.
Perubahan pola tidur berhubungan dengan
hiperaktivitas, respon tubuh pada halusinasi.
i.
Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek
samping obat antipsikotik berhubungan dengan kurangnya informasi.
B. Rencana Tindakan
a.
Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan berhubungan dengan berespon pada pikiran delusi dan
halusinasi.
Batasan kriteria :
Sasaran jangka pendek :
Dalam 2 minggu klien dapat mengenal
tanda-tanda peningkatan kegelisahan dan melaprkan pada perwat agasr dapat
diberikan intervensi sesuai kebutuhan.
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak akan membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan selama di rumah sakit.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan agar
lingkungan klien pada tingkat stimulaus yang rendah (penyinaran rendah,
sedikit orang, dekorasi yang sederhana dan tingakat kebisingan yang rendah)
2. Ciptakan
lingkungan psikososial :
·
sikap perawat yang bersahabat, penuh perhatian, lembuh dan hangat)
·
Bina hubungan saling percaya (menyapa klien dengan rama memanggil nama klien,
jujur , tepat janji, empati dan menghargai.
·
Tunjukkan perwat yang bertanggung jawab
3. Observasi secara
ketat perilaku klien (setiap 15 menit)
4. Kembangkan
orientasi kenyataan :
·
Bantu kien untuk mengenal persepsinya
·
Beri umpan balik tentang perilaku klien tanpa menyokong atau membantah
kondoisinya
·
Beri kesempatan untuk mengungkapkan persepsi an daya orientasi
5. Lindungi klien dan
keluarga dari bahaya halusinasi :
·
Kajiu halusinasi klien
·
Lakukan tindakan pengawasan ketat, upayakan tidak melakukan pengikatan.
6. Tingkatkan peran
serta keluarga pada tiap tahap perawatan dan jelaskan prinsip-prinsip
tindakan pada halusinasi.
7. Berikan
obat-obatan antipsikotik sesuai dengan program terapi (pantau keefektifan dan
efek samping obat).
|
1. Tingkat ansietas
atau gelisah akan meningkat dalam lingkungan yang penuh stimulus.
2. Lingkungan
psikososial yang terapeutik akan menstimulasi kemampuan perasaan kenyataan.
3. Observasi ketat
merupakan hal yang penting, karena dengan demikian intervensi yang tepat
dapat diberikan segera dan untuk selalu memastikan bahwa kien berada dalam
keadaan aman
4. Klien perlu
dikembangkan kemampuannya untuk menilai realita secara adequat agar klien
dapat beradaptasi dengan lingkungan.Klien yang berada dalam keadaan gelisah,
bingung, klien tidak menggunakan benda-benda tersebut untuk membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.
5. Klien halusinasi
pada faase berat tidak dapat mengontrol perilakunya. Lingkungan yang
aman dan pengawasan yang tepat dapat mencegah cedera.
6. Klien yang sudah
dapat mengontrol halusinasinya perlu sokongan keluarga untuk
mempertahnkannya.
7. Obat ini dipakai
untuk mengendalikan psikosis dan mengurangi tanda-tanda agitasi.
|
b.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang kurang, status emosional yang meningkat.
Batasan kriteria :
Penurunan berat badan, konjunctiva dan
membran mukosa pucat, turgor kulit jelek, ketidakseimbangan elktrolit dan
kelemahan)
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mencapai pertambahan 0,9 kg t
hari kemudian
Hasil laboratorium elektrolit sserum klien
akan kembali dalam batas normal dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak memperlihatkan tanda-tanda
/gejala malnutrisi saat pulang.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Monitor masukan,
haluaran dan jumlah kalori sesuai kebutuhan.
2. timbang berat
badan setiap pagi sebelum bangun
3. Jelaskan
pentingnya nutrisi yang cukup bagi kesehatan dan proses penyembuhan.
4. Kolaborasi
·
Dengan ahli gizi untuk menyediakan makanan dalam porsi yang cukup sesuai
dengan kebutuhan
·
Pemberian cairan perparenteral (IV-line)
·
Pantau hasil laboraotirum (serum elektrolit)
5. Sertakan keluarga
dalam memnuhi kebutuhan sehari-hari (makan dan kebutuhan fisiologis lainnya)
|
1. Informasi ini
penting untuk membuat pengkajian nutrisi yang akurat dan mempertahankan
keamanan klien.
2. Kehilangan berat
badan merupakan informasi penting untuk mengethui perkembangan status nutrisi
klien.
Klien mungkin tidak
memiliki pengetahuan yang cukup atau akurat berkenaan dengan kontribusi
nutrisi yang baik untuk kesehatan.
4. Kolaborasi :
·
Klien lebih suka menghabiskan makan yang disukai oleh klien.
·
Cairan infus diberikan pada klien yang tidak, kurang dalam mengintake
makanan.
·
Serrum elektrolit yang normal menunjukkan adanya homestasis dalam tubuh.
5. Perawat bersama
keluarga harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan secara adequat.
|
c.
Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial)
berhubungan dengan sistem penbdukung yang tidak adequat.
Batasan kriteria :
Kurang rasa percaya pada orang lain, sukar
berinteraksi dengan orang lain, komnuikasi yang tidak realistik, kontak mata
kurang, berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri, afek emosi yang
dangkal.
Sasaran jangka pendek :
Klien siap masuk dalam terapi aktivitas
ditemani oleh seorang perawat yang dipercayai dalam 1 minggu.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat secara sukarela meluangkan waktu bersama
klien lainnya dan perawat dalam aktivitas kelompok di unit rawat inap.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Ciptakan
lingkungan terapeutik :
- bina hubungan
saling percaya ((menyapa klien dengan rama memanggil nama klien, jujur ,
tepat janji, empati dan menghargai).
- tunjukkan perawat
yang bertanggung jawab
- tingkatkan kontak
klien dengan lingkungan sosial secara bertahap
2. Perlihatkan
penguatan positif pada klien.
Temani klien untuk
memperlihatkan dukungan selama aktivitas kelompok yang mungkin mnerupakan hal
yang sukar bagi klien.
3. Orientasikan klien
pada waktu, tempat dan orang.
4. Berikan obat anti
psikotik sesuai dengan program terapi.
|
1. Lingkungan fisik
dan psikososial yang terapeutik akan menstimulasi kemmapuan klien terhadap
kenyataan.
2. hal ini akan
membuat klien merasa menjado orang yang berguna.
3. kesadran diri yang
meningkat dalam hubungannya dengan lingkungan waktu, tempat dan orang.
4. Obat ini dipakai
untuk mengendalikan psikosis dan mengurangi tanda-tanda agitasi
|
d.
Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan
kemauan yang menurun
Batasan kriteria :
Kemauan yang kurang untuk membersihkan tubuh,
defekasi, be3rkemih dan kurang minat dalam berpakaian yang rapi.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan keinginan untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien ampu melakukan kegiatan hidup
sehari-hari secara mandiri dan mendemosntrasikan suatu keinginan untuk
melakukannya.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Dukung klien untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat kemampuan kien.
2. Dukung kemandirina
klien, tetapi beri bantuan kien saat kurang mampu melakukan beberapa
kegiatan.
3. Berikan pengakuan
dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri.
4. Perlihatkan secara
konkrit, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut kien sulit untuk
dilakukaknya.
|
1. Keberhasilan
menampilkan kemandirian dalam melakukan suatu aktivitas akan meningkatkan
harga diri.
2. Kenyamanan dan
keamanan klien merupakan priotoritas dalam keperawatan.
3. Penguatan positif
akan menignkatakan harga diri dan mendukung terjadinya pengulangan perilaku
yang diharapkan.
4. Karena berlaku
pikiran yang konkrit, penjelasan harus diberikan sesuai tingkat
pengetian yang nyata.
|
e.
Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek
samping obat antipsikotik berhubungan dengan kurangnya informasi.
Batasan kriteria :
Adanya pertanyaan kurangnya pengetahuan,
permintaaan untuk mendaptkan informasi dan mengastakan adanya permaslah yang
dialami kien.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan efek terhadap tubuh
yang diikuti dengan implemetasi rencana pengjaran.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat mengatan pentingnya
mengetahui dan kerja sama dalam memantau gejala dan tanda efek samping
obat.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1. Pantau tanda-tanda
vital
2. Tetaplah bersama
klien ketika minum obat antipsikotik
3. Amati klien akan
adanya EPS, 4. Pantau keluaran urine,dan glukosa urine
4. Beritahu klien
bahwa dapat terjadi perubahan yang berkaitandengan fungsi seksual dan
menstruasi.
|
1. Hipotensi
ortostatik mungikn terjadi pada pemakain obat antipsikotik, Pemeriksaan
tekanan darah dalam posisi berbaring, dudujk dan berdiri.
2. Beberapa klien
mungkin menyembusnyikan oabt-obat tersebut.
3. distonia akut
(spame lidah, wajah, leher dan punggung), akatisia (gelisah, tidak dapat
duduk dengantenag, mengetuk-negetukan kaki,pseudoparkinsonisme (tremor otot,
rifgiditas, berjalan dengan menyeret kaki) dan diskinesia tardif (mengecapkan
bibir, menjulurkan lidah dan gerakan mengunyah yang konstan).
4. Wanita dapat
mempunyai periode menstruasi yang tidak teratus atau amenorhea dan pria
mungkin mengalmi impotens atau ginekomastik.
|
DAFTAR RUJUKAN
Saa. 2012. delirium, (http://pustakamedik.blogspot.com/2012/12/makalah-delirium.html), diakses tanggal 10
Desember 2013.
- Kaplan HI,
Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi
VII, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 505-514.
- Kaplan HI,
Sadock BJ: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi I,
Widia Medika, Jakarta, 1998: 210-215.
- Maramis WF:
Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya, 1994:
181-182.
- Direktorat
Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayan Medis, Departemen Kesehatan
RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III,
Jakarta, 1993 : 69 – 72 dan 96.
- Ismail HC :
Sindrom Mental Organik, Internet http//:www.Sindromamental organik.com.
- Mansjoer A,
Triyanti K, dkk : Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 1, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001 : 189 – 191.
- Maslim R: Buku
Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III, Jakarta,
2001: 27-28.
- Maslim R:
Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III, Jakarta,
2001: 10-46
0 komentar:
Posting Komentar