- Pengertian Demensia
Demensia dapat diartikan sebagai
gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari.
Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada
tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive)
ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C.,
Mahoney, E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar
penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit
atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Dementia
Senilis adalah suatu
bentuk penyakit degenerasi neuronal di oyak manusia pada masa lanjut usia
(lansia) dan biasanya terjadi pada usia 65 tahun ke atas tetapi dapat juga
terjadi pada usia yang lebih dini.
Proses
degenerasi sel saraf otak pada dementia senilis terjadi pada lapisan ketiga
Kortex serebri bagian luar dan gejalanya adalah ditandai oleh adanya
proliferasi sel astrocytes, meningkatnya proses gliosis dan menyusutnya sejumlah
dendrite sel sarafnya. Di sisi yang lain dijumpai perubahan-perubahan
fisiologis yang berupa gagalnya fungsi-fungsi sinaptik dan perubahan-perubahan
biokimianya yaitu berkurangnya kholinasetil Transferase (CAT) pada ujung-ujung
saraf axonalnya dan berkurangnya aktivitas biosontesa neurotransmitternya. Dengan
kata lain bahwa di dalam otak terjadi kegagalan fungsional jalur
kolinergik, khususnya pada jalur yang memelihara fungsi memori.
- Etiologi
-
Proses menua,
-
Trauma Kapitis,
-
Tumor otak,
-
Multiple infarct
pembuluh darah otak,
-
Uremla,
-
Penuaan lebih dari 60 tahun – kehadiran
Lewy bodies iaitu struktur protin yang abnormal di dalam otak yang ada pada
penyakit Alzheimer
-
Penyakit seperti CVA yang merosakan
salur darah dan struktur saraf
-
Penyakit sementara – hidrosefalus yang
mempunyai tekanan normal, tumor otak, keadaan tiroid, paras vitamin B12 yang
rendah, infeksi
-
Keracunan :
Alkohol, timah, arsen, thalium dan kekurangan vitamin B1, B6, B12,
-
Dan adanya
anoxia karena kegagalan proses pernapasan dan kelainan genetik (Alzheimer DNA).
- Tanda dan Gejala
Gejala
dementia senilis biasanya sesudah umur60 tahun baru timbul
gejala-gejala yang jelas untuk membuat diagnose dementia senilis. Penyakit
jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat dapat mempercepat kemunduran mental.
Gejala
jasmaniah: kulit menjadi tipis, atrofis dan keriput; berat badan mengurang, atrofi
pada otot-otot, jalannya menjadi tidak stabil;
suara kasar dan bicaranya menjadi pelan; tremor pada tangan dan kepala.
Gejala
psikologik: sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia simplex).
Tetapi tidak jarang juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi serta agitasi. Ada
yang menjadi paranoid. Pada presbiofrenia terutama terdapat gangguan ingatan
serta konfabulasi, dan dapat dianggap sebagai suatu jenis dementia senilis
dengan beberapa gejala yang menonjol yang timbul sedikit lebih cepat.
Gejala utamanya
adalah hilangnya
kemampuan mengingat (memori) dan dengan disertai gejala lainnya seperti
gangguan perilaku dan tingkah laku, emosi dan afeknya seperti misalnya:
-
Timbul kegelisahan
rasa hati (rasa cemas),
-
Gangguan mood
(gampang tersinggung),
-
Terjadi
Depresi,
-
Halusinasi,
-
Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
-
Awalnya gangguan daya ingat jangka
pendek.
-
Gangguan kepribadian dan perilaku, mood
swings
-
Defisit neurologik motor & fokal
-
Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi
dan kejang
-
Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi,
waham & paranoia
-
Agnosia, apraxia, afasia
-
ADL (Activities of Daily Living)susah
-
Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
-
Tidak bisa pulang ke rumah bila
bepergian
-
Lupa meletakkan barang penting
-
Sulit mandi, makan, berpakaian,
toileting
-
Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan
tak bisa pulang
-
Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
-
Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine
& alvi
-
Tak dapat makan dan menelan
-
Koma dan kematian
-
Delusi,
-
Insight menurun
dan kadang-kadang dijumpai berperilaku anti sosial dan jika terdapat gangguan
proses berfikir yang menyebabkan yang bersangkutan sukar belajar dan menjadi
pelupa atas hal-hal yang dipelajarinya.
- Patofisiologi
Hal yang menarik dari gejala penderita
demensia (usia >65 tahun) adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah
laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Lansia penderita demensia
tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana
Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit untuk mengingat dan sering
lupa jika meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka.
Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama mereka, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia
kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya
sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul
biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan
lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit
lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja
lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Disinilah keluarga
membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah
menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan
dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji ddan mengenali gejala demensia.
Faktor Psikososial
Derajat keparahan dan perjalanan
penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi
intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga
kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan
demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih
sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan
depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi
pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan
tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya
berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
- Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan
laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya
dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian
etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara
lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah,
ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2.
Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam
pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3.
Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak
memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal.
4.
Pemeriksaan
cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis
dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai
rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5.
Pemeriksaan
genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu
protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2,
epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
- Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati
demensia alzheimer digunakan obat - obatan antikoliesterase seperti Donepezil , Rivastigmine , Galantamine
, Memantine
b. Dementia
vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin , Ticlopidine , Clopidogrel untuk
melancarkan aliran darah ke otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena
stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi perkembangannya bisa
diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau
kencing manis yang berhubungan dengan stroke.
d.
Jika hilangnya
ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi seperti Sertraline dan Citalopram.
e.
Untuk
mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai
demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik (misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone). Tetapi obat
ini kurang efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-psikotik
efektif diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi atau paranoid.
2.
Dukungan atau
Peran Keluarga
a. Mempertahankan lingkungan yang familiar
akan membantu penderita tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya
yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar atau radio juga bisa
membantu penderita tetap memiliki orientasi.
b.
Menyembunyikan
kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa membantu mencegah terjadinya
kecelekaan pada penderita yang senang berjalan-jalan.
c.
Menjalani
kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin, bisa
memberikan rasa keteraturan kepada penderita.
d.
Memarahi atau
menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan memperburuk keadaan.
e.
Meminta bantuan
organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat
membantu.
3.
Terapi
Simtomatik
Pada penderita
penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik, meliputi :
a.
Diet
b.
Latihan fisik
yang sesuai
c.
Terapi
rekreasional dan aktifitas
d.
Penanganan
terhadap masalah-masalah
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
pasien
b. Riwayat
kesehatan
c. Status
kesehatan
d. Status
kesehatan mental
e. Aspek kognitif,
pembelajaran dan memori
f. Perubahan
sistem tubuh
- Perubahan
kardiovaskuler
- Perubahan
sistem pernafasan
- Perubahan
integlumen
- Perubahan
sistem reproduksi
- Perubahan
genitourinaria
- Perubahan gastrointestinal
- Perubahan
kebutuhan nutrisi
- Perubahan
muskuloskeletal
- Perubahan
sensorik
(Brunner & Suddarth, 2001)
2. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
a. Sindrom stress
relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah
tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan
tingkah laku agresif.
b. Perubahan
proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi neuron
ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi,
tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
c. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi atau
integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan
tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.
d. Perubahan pola
tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai dengan keluhan
verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu menentukan
kebutuhan/ waktu tidur.
e. Kurang
perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya daya tahan
dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
f. Resiko terhadap
cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak
terkoordinasi, aktivitas kejang.
g. Resiko terhadap
perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mudah lupa,
kemunduran hobi, perubahn sensori.
3. INTERVENSI
KEPERAWATAN
No Dx
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Setelah
diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perubahan aktivitas sehari- hari dan lingkungan dengan KH :
a. mengidentifikasi perubahan
b. mampu beradaptasi pada perubahan
lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-hari
c. cemas dan takut berkurang
d. membuat pernyataan yang positif
tentang lingkungan yang baru.
|
a. Jalin
hubungan saling mendukung dengan klien.
|
a) Untuk
membangan kepercayaan dan rasa nyaman.
|
b. Orientasikan
pada lingkungan dan rutinitas baru.
|
b) Menurunkan
kecemasan dan perasaan terganggu.
|
||
c. Kaji tingkat
stressor (penyesuaian diri, perkembangan, peran keluarga, akibat perubahan
status kesehatan)
|
c) Untuk
menentukan persepsi klien tentang kejadian dan tingkat serangan.
|
||
d. Tentukan
jadwal aktivitas yang wajar dan masukkan dalam kegiatan rutin.
|
d) Konsistensi
mengurangi kebingungan dan meningkatkan rasa kebersamaan.
|
||
e. Berikan
penjelasan dan informasi yang menyenangkan mengenai kegiatan/ peristiwa.
|
e) Menurunkan
ketegangan, mempertahankan rasa saling percaya, dan orientasi.
|
||
2
|
Setelah
diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu mengenali perubahan
dalam berpikir dengan KH:
a. Mampu memperlihatkan kemampuan
kognitif untuk menjalani konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap emosi
dan pikiran tentang diri.
b. Mampu mengembangkan strategi untuk
mengatasi anggapan diri yang negative.
c. Mampu mengenali tingkah laku dan
faktor penyebab.
|
a. Kembangkan
lingkungan yang mendukung dan hubungan klien-perawat yang terapeutik.
|
a. Mengurangi
kecemasan dan emosional.
|
b. Pertahankan
lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
|
b. Kebisingan
merupakan sensori berlebihan yang meningkatkan gangguan neuron.
|
||
c. Tatap wajah
ketika berbicara dengan klien.
|
c. Menimbulkan
perhatian, terutama pada klien dengan gangguan perceptual.
|
||
d. Panggil klien
dengan namanya.
|
d. Nama adalah
bentuk identitas diri dan menimbulkan pengenalan terhadap realita dan klien.
|
||
e. Gunakan suara
yang agak rendah dan berbicara dengan perlahan pada klien.
|
e. Meningkatkan pemahaman.
Ucapan tinggi dan keras menimbulkan stress yg mencetuskan konfrontasi dan
respon marah.
|
||
3
|
Setelah
diberikan tindakan keperawatan diharapkan perubahan persepsi sensori klien
dapat berkurang atau terkontrol dengan KH:
a. Mengalami penurunan halusinasi.
b. Mengembangkan strategi psikososial
untuk mengurangi stress.
c. Mendemonstrasikan respons yang sesuai
stimulasi.
|
a. Kembangkan
lingkungan yang suportif dan hubungan perawat-klien yang terapeutik.
|
a. Meningkatkan
kenyamanan dan menurunkan kecemasan pada klien.
|
b. Bantu klien
untuk memahami halusinasi.
|
b. Meningkatkan
koping dan menurunkan halusinasi.
|
||
c. Kaji derajat
sensori atau gangguan persepsi dan bagaiman hal tersebut mempengaruhi klien
termasuk penurunan penglihatan atau pendengaran.
|
c. Keterlibatan
otak memperlihatkan masalah yang bersifat asimetris menyebabkan klien
kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuh.
|
||
d. Ajarkan
strategi untuk mengurangi stress.
|
d. Untuk
menurunkan kebutuhan akan halusinasi
|
||
e. Ajak piknik
|
e. Piknik
menunjukkan realita dan memberikan stimulasi sensori yang menurunkan perasaan
curiga dan halusinasi yang disebabkan perasaan terkekang.
|
||
sederhana, jalan-jalan keliling rumah
sakit. Pantau aktivitas.
|
|||
4
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi gangguan pola tidur
pada klien dengan KH :
a. Memahami faktor penyebab gangguan
pola tidur.
b. Mampu menentukan penyebab tidur
inadekuat.
c. Melaporkan dapat beristirahat yang
cukup.
d. Mampu menciptakan pola tidur yang
adekuat.
|
a. Jangan
menganjurkan klien tidur siang apabila berakibat efek negative terhadap tidur
pada malam hari.
|
a. Irama
sirkadian (irama tidur-bangun) yang tersinkronisasi disebabkan oleh tidur
siang yang singkat.
|
b. Evaluasi efek
obat klien (steroid, diuretik) yang mengganggu tidur.
|
b. Deragement
psikis terjadi bila terdapat panggunaan kortikosteroid, termasuk perubahan
mood, insomnia.
|
||
c. Tentukan
kebiasaan dan rutinitas waktu tidur malam dengan kebiasaan
klien(memberi susu hangat).
|
c. Mengubah pola
yang sudah terbiasa dari asupan makan klien pada malam hari terbukti
mengganggu tidur.
|
||
d. Memberikan
lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan tidur(mematikan lampu, ventilasi ruang
adekuat, suhu yang sesuai, menghindari kebisingan).
|
d. Hambatan
kortikal pada formasi reticular akan berkurang selama tidur, meningkatkan
respon otomatik, karenanya respon kardiovakular terhadap suara meningkat
selama tidur.
|
||
e. Buat jadwal
tidur secara teratur. Katakan pada klien bahwa saat ini adalah waktu untuk
tidur.
|
e. Penguatan
bahwa saatnya tidur dan mempertahankan kesetabilan lingkungan.
|
||
5
|
Setelah
diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat merawat dirinya sesuai
dengan kemampuannya dengan KH :
a. Mampu melakukan aktivitas perawatan
diri sesuai dengan tingkat kemampuan.
b. Mampu mengidentifikasi dan
menggunakan sumber pribadi/ komunitas yang dapat memberikan bantuan.
|
a. Identifikasi
kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri, seperti: keterbatasan gerak
fisik, apatis/ depresi, penurunan kognitif seperti apraksia.
|
a. Memahami
penyebab yang mempengaruhi intervensi. Masalah dapat diminimalkan dengan
menyesuaikan atau memerlukan konsultasi dari ahli lain.
|
b. Identifikasi
kebutuhan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan dengan
perawatan rambut/kuku/ kulit, bersihkan kaca mata, dan gosok gigi.
|
b. Seiring
perkembangan penyakit, kebutuhan kebersihan dasar mungkin dilupakan.
|
||
c. Perhatikan
adanya tanda-tanda nonverbal yang fisiologis.
|
c. Kehilangan
sensori dan penurunan fungsi bahasa menyebabkan klien mengungkapkan kebutuhan
perawatan diri dengan cara nonverbal, seperti terengah-engah, ingin berkemih
dengan memegang dirinya.
|
||
d. Beri banyak
waktu untuk melakukan tugas.
|
d. Pekerjaan
yang tadinya mudah sekarang menjadi terhambat karena penurunan motorik dan
perubahan kognitif.
|
||
e. Bantu
mengenakan pakaian yang rapi dan indah.
|
e. Meningkatkan
kepercayaan untuk hidup.
|
||
6
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Risiko cedera tidak terjadi dengan
KH :
a. Meningkatkan tingkat aktivitas.
b. Dapat beradaptasi dengan lingkungan
untuk mengurangi risiko trauma/ cedera.
c. Tidak mengalami cedera.
|
a. Kaji derajat
gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan penurunan persepsi visual.
Bantu keluarga mengidentifikasi risiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
|
a. Mengidentifikasi
risiko di lingkungan dan mempertinggi kesadaran perawat akan bahaya. Klien
dengan tingkah laku impulsi berisiko trauma karena kurang mampu mengendalikan
perilaku. Penurunan persepsi visual berisiko terjatuh.
|
b. Hilangkan
sumber bahaya lingkungan.
|
b. Klien dengan
gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah awal terjadi trauma akibat tidak
bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan dasar.
|
||
c. Alihkan
perhatian saat perilaku teragitasi/ berbahaya, memenjat pagar tempat tidur.
|
c. Mempertahankan
keamanan dengan menghindari konfrontasi yang meningkatkan risiko
terjadinya trauma.
|
||
d. Kaji efek
samping obat, tanda keracunan (tanda ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik,
gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal).
|
d. Klien yang
tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat menimbulkan kadar toksisitas
pada lansia. Ukuran dosis/ penggantian obat diperlukan untuk mengurangi
gangguan.
|
||
e. Hindari
penggunaan restrain terus-menerus. Berikan kesempatan keluarga tinggal
bersama klien selama periode agitasi akut.
|
e. Membahayakan
klien, meningkatkan agitasi dan timbul risiko fraktur pada klien lansia
(berhubungan dengan penurunan kalsium tulang).
|
||
7
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mendapat nutrisi yang
seimbang dengan KH:
a. Mengubah pola asuhan yang benar
b. Mendapat diet nutrisi yang seimbang.
c. Mendapat kembali berat badan yang
sesuai.
|
a. Beri dukungan
untuk penurunan berat badan.
|
a. Motivasi
terjadi saat klien mengidentifikasi kebutuhan berarti.
|
b. Awasi berat
badan setiap minggu.
|
b. Memberikan
umpan balik/ penghargaan.
|
||
c. Kaji
pengetahuan keluarga/ klien mengenai kebutuhan makanan.
|
c. Identifikasi
kebutuhan membantu perencanaan pendidikan.
|
||
d. Usahakan/
beri bantuan dalam memilih menu.
|
d. Klien tidak
mampu menentukan pilihan kebutuhan nutrisi.
|
||
e. Beri Privasi
saat kebiasaan makan menjadi masalah.
|
e. Ketidakmampuan
menerima dan hambatan sosial dari kebiasaan makan berkembang seiring
berkembangnya penyakit.
|
DAFTAR PUSTAKA
Brunner &
Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1
& 2. EGC : Jakarta.
Doenges,
Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa,
Ni Made Sumarwati. EGC : Jakarta.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku
Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.2010. Askep pada
Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta
Nugroho,
Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC :
Jakarta.
Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi. Ed.8.
Jakarta. EGC.2006
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2.
EGC; Jakarta.
Sumber : http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/03/demensia-pada-lansia-3/
0 komentar:
Posting Komentar