BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma
merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan daripada tumor hati
lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangiondotelioma.
Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari
tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika
Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di Afrika
dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka
kejadian 100/100.000 populasi.
Pria lebih banyak daripada wanita. Lebih
dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati Hepatoma biasa dan sering
terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis
virus kronik.
Hepatitis virus kronik adalah faktor
risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. Bayi
dan anak kecil yang terinfeksi virus ini lebih mempunyai kecenderungan
menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa yang terinfeksi virus ini
untuk pertama kalinya.
Pasien hepatoma 88% terinfeksi vius
hepatitis B dan C. Virus ini mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma.
Hepatoma seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh
penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Jika gejala
tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu
sampai bulan. Keluhan yang paling sering adalah berkurangnya selera makan,
penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas dan mata tampak kuning.
Komplikasi yang sering terjadi pada
sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati
hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hiporenal adalah suatu keadaan pada
pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang
ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah. Sindroma ini
mempunyai risiko kematian yang tinggi.
Oleh karena itu, kami mencoba untuk
membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien hepatoma.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari hepatoma?
2. Bagaimana
tindakan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan hepatoma?
3. Bagaimana
penerapan proses keperawatan dalam asuhan keperawatan pasien dengan hepatoma?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
tindakan keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen
2.
Mengetahui masalah yang mungkin timbul pada pasien dengan trauma abdomen
3. Memenuhi
tugas pembuatan makalah pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor
ganas hati primer dan paling sering ditemukan daripada tumor ganas hati primer
lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma.
Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga
hepatoma atau kanker hati primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah
satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati.
Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C.
Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C.
2.2
Etiologi
a. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat,
baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah
yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur
saat terjadinya infeksi merupakan
faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan
terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui
proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA
ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi
dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.
Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi
berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan
pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma
tanpa melalui sirosis hati.
b. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV
merupakan faktor resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi
penyebab paling umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga
bertanggung jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika
Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi
HCV. Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang menjadipenyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30%
berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV sekitar 5%
dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien dengan HCV
kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler dibandingkan dengan
infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus
pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler secara
signifikan.
c. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di
dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama
sirosis di Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan
infeksi hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan
menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis
hati. Pada otopsi pada
pasien dengan sirosis hati , 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma.
d. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang
diproduksi oleh jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan
diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh
dunia dan terutama banyak berhubungan dengan makanan berjamur.1 Pertumbuhan
jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama
pada makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan
yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang
rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras
berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah
kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai
penelitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara
pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
e. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di
Amerika Serikat diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar
5x akibat kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40
kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya
normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty
liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic
steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan
kemudian berlanjut menjadi hepatoma.
f. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko
baik untuk penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya
perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM
dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth
factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial
untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari
banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien
DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada
kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma
kelompok bukan DM.
g. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik,
peminum berat alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama
lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat.
Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme
juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap
infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga
meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif. Ini
menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun
infeksi HCV.
2.3
Gejala-gejala Hepatoma
Hepatoma
seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang
mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Pada permulaannya penyakit
ini berjalan perlahan, malah banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak
memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar
sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa.
Keluhan utama yang sering adalah :
Keluhan utama yang sering adalah :
·
Keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa
bengkak di perut kanan atas
·
Nafsu makan berkurang,
·
Berat badan menurun, dan rasa lemas.
·
Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites
(penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot,
berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan
dari dubur, dan lain-lain.
2.4
Patofisiologi
Hepatoma 75 %
berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang disebabkan oleh
alkoholik dan postnekrotik.
Pedoman diagnostik yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak.
Tumor hati yang paling sering adalah metastase tumor ganas dari tempat lain. Matastase ke hati dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Hal ini benar, khususnya untuk keganasan pada saluran pencernaan, tetapi banyak tumor lain juga memperlihatkan kecenderungan untuk bermestatase ke hati, misalnya kanker payudara, paru-paru, uterus, dan pankreas.
Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
Pedoman diagnostik yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak.
Tumor hati yang paling sering adalah metastase tumor ganas dari tempat lain. Matastase ke hati dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Hal ini benar, khususnya untuk keganasan pada saluran pencernaan, tetapi banyak tumor lain juga memperlihatkan kecenderungan untuk bermestatase ke hati, misalnya kanker payudara, paru-paru, uterus, dan pankreas.
Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
2.5
Stadium Hepatoma
Stadium I : Satu fokal tumorberdiameter \ hati.
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3cm. Tumor terbatas
pada segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri
hati.
Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau
ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke sistem
pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya
terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan
dan lobus kiri hati.
- atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
- atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)
- atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
- atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)
2.6
Pemeriksaan Laboratorium
1. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama
ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan
radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann mudah, aman,
dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat
jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis
menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik
dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum
biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
2. Radiologi
untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan
dalam pengobatannya.
Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan
berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat
banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati
kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
3. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang
normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).
USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2
cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat
lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13,
namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.
4. CT scan
CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam
satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat
sebagian-sebagian saja.
CTscann dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi
dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan
jaringan tubuh sekitarnya.
5. Angiografi
angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker
yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada
USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa
memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic ResonanceAngiography
(MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati
ini.
7. PET (Positron
Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker
menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam
stadium dini.
Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis
sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam
tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan
lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di
samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).
2.7 Penatalaksanaan
Medis
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan
besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya
tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat
besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya
metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah
ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati.
Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan tindakan
bedah.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN HEPATOMA
3.1 PENGKAJIAN
a) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, alamat,
agama, suku, bangsa, no. registrasi
b) Riwayat kesehatan
· Keluhan utama: klien biasanya mengeluh mual, muntah, nyeri perut kanan
atas, pembesaran perut, berak hitam
· Riwayat penyakit sekarang: biasanya klien awalnya mengalami mual, nyeri
perut kanan atas, berak hitam, kemudian perut klien membesar dan sesak nafas.
· Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien pernah mengalami penyakit hepatitis
B atau C atau D. Dan mengalami sirosis hepatik
· Riwayat penyakit keluarga: biasanya salah satu atau lebih keluarga klien
menderita penyakit hepatitis B atau C atau D. Biasanya ibu klien menderita
hepatitis B atau C atau D yang diturunkan kepada anaknya pada waktu hamil.
· Riwayat lingkungan: biasanya klien inggal di lingkungan yang kumuh dan
kotor
· Riwayat imunisasi: biasanya klien tidak diimunisasi untuk penyakit
hepatitis B
c) Pemeriksaan fisik
· Keadaan umum
Biasanya klien terlihat lemah, letih,
dengan perut membesar dan sesak nafas, penurunan BB.
· TTV
TD: >120/80 mmHg
N: >100 x/mnt
RR: <16 x/mnt
S: >37,5oC
· Kepala dan leher
Biasanya terjadi pernafasan cuping
hidung, ikterus, muntah
· Thoraks
Biasanya terjadi retraksi dada
dikarenakan kesulitas bernafas, penggunaan otot-otot bantu pernafasan
· Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali),
permukaan hati terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala
7-10, splenomegali
· Ekstremitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelenahan
otot
· Breath
Biasanya klien mengalami sesak nafas
· Blood
Biasanya klien anemi dikarenakan adanya
perdarahan
· Brain
Jika sudah metastase akan terjadi
enselofaty hepatik
· Bowel
Biasanya klien mengalami anoreksia,
mual, muntah, melena, bahkan mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB,
turgor kulit lebih dari 2 detik, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan
serum albumn.
· Blader
Biasanya klien mengeluarkan urin
berwarna seperti teh pekat
· Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan
terjadi nyeri tulang
d) Pola fungsi kesehatan
· Pola aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan dalam
beraktivitas dikarenakan nyeri, kelemahan otot, mual, dan muntah
· Pola nutrisi
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual
dan muntah
· Pola eliminasi
Biasanya klien mengeluarkan urin
berwarna seperti teh dan pekat. Feses klien berwarna hitam (melena)
· Pola istirahat
Biasanya klien mengalami insomnia
· Pola seksual
Biasanya klien mengalami penurunan
libido
· Pola spiritual
Biasanya klien terganggu dalam menjalani
ibadah
e) Pemeriksaan penunjang
3.2 DIAGNOSA
Pre operasi
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan penekanan diafragma.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual.
3. Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut. Akibat asites
Post operasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi.
3.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Pre operasi
Dx 1
: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan penekanan diafragma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x24 jam pernafasan klien kembali normal
Kriteria Hasil:
1. Tidak mengeluh sesak napas,
2. RR 16 – 24 X/menit.
3. Hasil Lab BGA Normal
4. Tidak ada pernafasan cuping hidung
5. Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Intervensi
|
Rasional
|
1. Pertahankan Posisi semi fowler.
2. Observasi gejala kardinal dan monitor tanda - tanda ketidakefektifan pola
napas.
3. Berikan penjelasan tentang penyebab sesak dan motivasi utuk membatasi
aktivitas
4. Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian diuretik, batasi
asupan cairan, dan aspirasi asites.
|
1. Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya penekanan isi perut terhadap
diafragma sehingga meningkatkan ruangan untuk ekspansi paru yang
maksimal. Disamping itu posisi ini juga mengurangi peningkatan volume darah
paru sehingga memperluas ruangan yang dapat diisi oleh udarab.
2. Pemantau lebih dini terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat
diambil tindakan penanganan segera.
3. Pengertian klien akan mengundang partispasi klien dalam mengatasi
permasalahan yang terjadi
4. untuk mengurangi asites dan cairan dalam cavum peritoneum sehingga pola
nafas kembali normal (16-24x/menit)
|
Dx 2 :
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24
jam kebutuhaan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria Hasil:
1. BB klien naik
2. Serum albumin normal
3. Makanan 1 porsi habis
4. Klien tidak terlahat lemas
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin.
2. Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh dan diit yang
di tentukan dan tanyakan kembali apa yang telah di jelaskan.
3. Bantu klien dan keluarga mengidentifikasi dan memilih makanan yang
mengandung kalori dan protein tinggi
4. Sajikan makanan dalam keadaan menarik dan hangat.
5. Anjurkan pada klien untuk menjaga kebersihan mulut.
6. Monitor kenaikan berat badan
|
1. Dengan pemberian vitamin membantu proses metabolisme, mempertahankan
fungsi berbagai jaringan dan membantu pembentukan sel baru.
2. Pengertian klien tentang nutrisi mendorong klien untuk mengkonsumsi
makanan sesuai diit yang ditentukan dan umpan balik klien tentang
penjelasan merupakan tolak ukur penahanan klien tentang nutrisic.
3. Dengan mengidentifikasi berbagai jenis makanan yang telah di tentukan
Diharapkan klien kooperatif
4. Dengan penyajian yang menarik diharapkan dapat meningkatkan
selera makan
5. Dengan kebersihan mulut menghindari rasa mual sehingga diharapkan
menambah rasa
6. Dengan monitor berat badan merupakan sarana untuk mengetahui
perkembangan asupan nutrisi klien
|
Dx 3 :
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut akibat
asites
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil:
1. Klien terlihat tenang
2. Skala nyeri 0-3
3. TD 120/80 mmHg
4. Nadi 60-100 x/mnt
Intervensi
|
Rasional
|
1. Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik (perhatikan
fungsi faal hepar).
2. Atur posisi klien yang enak sesuai dengan keadaan
3. Awasi respon emosional klien terhadap proses nyeri.
4. Ajarkan teknik pengurangan nyeri dengan teknik distraksi
5. Observasi tanda-tanda vital
|
1.Analgesik bekerja mengurangi
reseptor nyeri dalam mencapai sistim saraf sentral
2.Dengan posisi miring ke sisi yang
sehat disesuaikan dengan gaya gravitasi,maka dengan miring kesisi yang sehat
maka terjadi pengurangan penekanan sisi yang sakit
3.Keadaan emosional mempunyai dampak
pada kemampuan klien untuk
menangani nyeri
4.Teknik distraksi merupakan teknik
pengalihan perhatian sehingga mengurangi emosional dan kognitif
5.Deteksi dini adanya kelainan
|
Post operasi
Dx 1 : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan luka post operasi
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan
nyeri klien berkurang
Kriteria Hasil :
1. Klien terlihat tenang
2. Skala nyeri 0-3
3. TD 120/80 mmHg
4. Nadi 60-100 x/mnt
Intervensi
|
Evaluasi
|
1. Observasi cemas, mudah terangsang, menangis, gelisah, gangguan tidur.
2. Pantau tanda-tanda vital
3. Berikan tindakan nyaman, bantu aktivitas perawatan diri dan dorong
aktvitas senggang sesuai indikasi.
4. Beritahu pasien bahwa wajar saja, meskipun lebih baik, untuk meminta
analgesic segera setelah ketidaknyamanan menjadi dilaporkan.
5. Kolaborasikan pemberian obat sesuai indikasi seperti profiksene dan
asetaminofen
|
1. Petunjuk non verbal ini dapat menindikasikan
adanya/ derajat nyeri yang dialami
2. Kecepatan jantung biasanya meningkat karena
nyeri. TD mungkin meningkat karna ketidaknyamanan insisi tetapi dapat menurun
atau tkidak stabil.
3. Dapat meningkatkan relaksasi atau perhatian tak langsung dan menurunkan
frekuensi/ kebutuhan dosis analgesic.
4. Adanya nyeri menyebabkan tegangan otot yang
mengganggu sirkulasi, memperlambat penyembuhan, dan memperberat nyeri.
5. Biasanya diberikan untuk control nyeri adekuat
dan menurunkan tegangan otot, yang memperbaiki kenyamanan pasien dan
meningkatkan penyembuhan
|
Dx 2 :
Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam diharapkan klien dapat melaporkan factor resiko
yang berkaitan dengan infeksi dan kewaspadaan yang diperlukan
Kriteria Hasil:
1. Klien dapat menhidentifikasi factor-faktor resiko dan intervensi untuk
mengurangi infeksi
2. Klien dapat mempertahankan lingkungan aseptic yang aman
3. Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi
|
Rasional
|
1. Control infeksi, sterilisasi dan
prosedur/ kebijakan aseptic.
2. Periksa kulit untuk memeriksa adanya
infeksi yang terjadi.
3. Identifikasi gangguan pada tehnik
aseptic dan atasi dengan segera pada waktu terjadi.
4. Kolaborasikan pemberian antibiotic
jika perlu.
|
1. Mekanisme yang dirancang untuk
mencegah infeksi
2. Gangguan pada integritas kulit atau
dekat dengan lokasi operasi adalah sumber kontaminasi luka.
3. Kontaminasi dengan lingkungan/ kontak
personal akan menyebabkan daerah yang steril menjadi tidak steril sehingga
dapat meningkatkan resiko infeksi.
4. Dapat diberikan secara profilaksis
bila dicurigai terjadinya infeksi atau kontaminasi.
|
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel
hati. Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor
ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkin atau
epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya. Faktor risiko
hepatoma antara lain infeksi hepatitis B, infeksi hepatitis C, alkohol,
obesitas, diabetes melitus (DM), idiopatik, usia, dan sirosis hepatitis.
Keluhan utama yang sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh
ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karena
ancietes (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri
otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah,
perdarahan dari dubur, dan lain-lain.
Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus didasari oleh
sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang buruk pada operasi segmentektomi
pada hepatoma. Selain operasi masih ada banyak cara misalnya transplantasi
hati, kemoterapi, emboli intra arteri, injeksi tumor dengan etanol agar terjadi
nekrosis tumor, terapi hasil tindakan tersebut masih belum memuaskan dan angka
harapan hidup 5 tahun masih sangat rendah
4.2 Saran
· berhati –hati
terhadap gejala dan keluhan dalam tubuh meski sedikit, misal jangan meremehkan
sakit perut.
· jangan
sembarangan mengkonsumsi obat – abat yang bukan dari resep dokter
· makan- makanan
yang sehat, jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan
pengawet dan karsinogenik.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar