BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan,
sebagai perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi
masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah
setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kondisi fisik
(somatogenik), kondisi perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi
dilingkungan sosial (sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga
faktor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang enyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa,
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran sosial. WHO memperkirakan saat ini di seluruh dunia terdapat 450 juta
orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada tahun 2006 diperkirakan
26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dengan ratio populasi 1:4
penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini
telah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan
secara maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan
gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenai realitas,
serta prilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penuruna produktifitas hidup.
Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara
yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy
Adjusted Life Years (DALY’s) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease,
disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
penurunan produktifitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya
rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari rumah sakit. Tujuannya untuk
mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam
pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan
perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang
mandiri dan berguna.
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multi
profesi yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, sosial worker serta
okupasi terapis yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan
terapi somatik, psikolog melakukan pemilahan klien berdasarkan hasil psikotest,
kemampuan serta minat klien, sosial worker menjadi penghubung antara klien
dengan keluarga dan lingkungan serta okupasi terapis memberikan terapi kerja
bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan, maupun
pengawasan. Sebagai sebuah tim, perawat memberi peran yang sangat penting dalam
mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota tim
sesuai dengan tujuan yang akan dicapai anatara klien dan tim kesehatan sehingga
rehabilitasi berjalan sesuai tujuan yang diharapkan menurut para perawat sistem
dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk melaksanakan peran tersebut,
sehingga perawat mengerjakan tugas multi profesi sekaligus dari mulai dokter,
psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.
1.2 Tujuan
Penulisan
a. Tujuan Umum
1. Mahasiswa mampu berfikir
kritis dan analisis dalam memahami peran perawat dalam terapi psikofarmaka
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa memahami pengertian
psikofarmaka
2. Mahasiswa memahami klasifikasi
obat-obatan psikofarmaka
3. Mahasiswa memahami peran perawat
dalam pemberian obat
1.3 Metode
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis
menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada
dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan
maupun internet.
1.4 Sistematika
Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab
yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang,
tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
Bab II : Pembahasan terdiri dari pengertian
psikofarmaka, klasifikasi obat-obatan psikofarmaka dan peran perawat dalam
psikofarmaka
Bab III : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang
digunakan untuk klien dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan
psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan
pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi :
1. Teori
biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi
Therapi (ECT).
2.
Psikoterapeutik
3. Terapi
Modalitas
Psikofarmakologi adalah komponen
kedua dari management psikoterapi. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka.
Beberapa hal yang termasuk Neurotransmitter adalah Dopamin, Neuroepineprin,
Serotonin, dan GABA (Gama Amino Buteric Acid), dll. Meningkatnya dan menurunnya
kadar/konsentrasi neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan
mental. Obat-obatan psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan
Neurotransmitter.
2.2 Klasifikasi
Menurut Rusdi Maslim, yang termasuk
obat-obatan psikofarmaka adalah golongan :
2.2.1
Anti Psikotik
·
Anti psikotik termasuk
golongan Mayor Transquilizer atau Psikotropik : Neuroleptika
·
Mekanisme kerja :
menahan kerja reseptor Dopamin dalam otak (di ganglia) pada sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal
·
Efek farmakologi :
sebagai penenang, menurunkan aktifitas motorik, mengurangi insomnia, sangat
efektif mengatasi Delusi, Halusinasi, Ilusi dan gangguan proses berpikir
·
Indikasi pemberian anti
psikototik : pada semua jenis psikosa, kadang untuk gangguan maniak dan
paranoid.
·
Efek samping pada anti
psikotik : efek samping pada sistem syaraf
2.2.2
Anti Depresi
·
Hipotesis : Sindroma
depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu atau beberapa aminergic
neurotransmitter seperti Noradrenalin, Serotonin, Dopamin pada sinaps neuron di
SSP, khususnya pada sistem Limbik.
·
Mekanisme kerja obat :
a. Meningkatkan sensitivitas
terhadap aminergik neurotransmitter
b. Menghambat reuptake aminergik
neurotransmitter
c. Menghambat
penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) sehingga terjadi peningkatan
jumlah aminergik neurotransmitter pada neuron SSP
·
Efek farmakologi :
mengurangi gejala depresi dan sebagai penenang.
·
Jenis obat yang
digunakan adalah :
a. Trisiklik
b. MAO Inhibitor
c. Aminitriptylin
·
Efek samping : yaitu
efek samping Kolonergik (efek samping terhadap sistem syaraf perifer) yang
meliputi mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi.
2.2.3
Anti Mania (Lithium Carbonate)
·
Mekanisme kerja : menghambat
pelepasan Serotonin dan mengurangi sensitivitas dari reseptor Dopamin.
·
Hipotesa : pada mania
terjadi peluapan aksi reseptor amine
·
Efek farmakologi :
mengurangi agresivitas, tidak menimbulkan efek sedative, mengoreksi/mengontrol
pola tidur, irritable. Pada mania dengan kondisi berat pemberian anti mania
dikombinasikan dengan obat anti psikotik
·
Efek samping : efek
neurologik ringan seperti kelelahan, letargis, tremor di tangan, terjadi pada
awal terapi dapat juga terjadi diare dan mual.
·
Efek toksik : pada
ginjal (poliuri, edema), peningkatan jumlah litium, sehingga menambah keadaan
edema. Sedangkan pada SSP (tremor, kurang koordinasi, nistagmus dan
disorientasi
2.2.4
Anti Cemas
·
Termasuk Minor Transquilizer.
Jenis obat antara lain Diazepam
2.2.5
Anti Insomnia : Phenobarbital
2.2.6
Anti Obsesif-Kompulsif : Clomipramine
2.2.7
Anti Panik, yang paling sering digunakan oleh klien jiwa : Imipramine
2.3 Peran Perawat Dalam Pemberian Obat
2.3.1 Pengumpulan data sebelum
pengobatan yang meliputi :
a. Diagnosa Medis
b. Riwayat Penyakit
c. Hasil Pemeriksaan Lab
d. Jenis obat yang
digunakan, dosis, waktu pemberian
e. Program terapi yang
lain
f. mengkombinasikan obat
dengan terapi Modalitas
g. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga
tentang pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek samping obat
h. Monitoring efek samping penggunaan obat
2.3.2 Melaksanakan Prinsip
Pengobatan Psikofarmaka
a. Persiapan
1. Melihat order
permberian obat di lembaran obat (status)
2. Kaji setiap obat yang akan diberikan. Termasuk
tujuan, cara kerja obat, dosis, efek samping obat dan cara pemberian
3. Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
4. Kaji kondisi klien sebelum pengobatan
b. Lakukan minimal prinsip lima
benar
c. Laksanakan program pemberian obat
1. Gunakan pendekatan
tertentu
2. Pastikan bahwa obat
telah terminum
3. Bubuhkan tanda tangan
pada dokumentasi pemberian obat, sebagai aspek legal
2.3.3 Laksanakan program pengobatan
berkelanjutan melalui program rujukan
2.3.4 Menyesuaikan dengan terapi non
famakoterapi
2.3.5 Turut serta dalam penelitian
tentang obat psikofarmaka
Setelah seorang perawat melaksanakan
terapi psikofarmaka maka tugas terakhir yang penting harus dilakukan adalah
evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif jika :
a. Emosional stabil
b. Kemampuan berhubungan
interpersonal meningkat
c. Halusinasi, Agresi, Delusi,
menarik diri menurun
d. Prilaku mudah diarahkan
e. Proses berpikir kea rah logika
f. Efek samping Obat
g. Tanda-tanda Vital
Perawat harus mempunyai cukup
pengetahuan tentang strategi psikofarmaka yang tersedia, tetapi informasi ini
harus digunakan sebagai salah satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan
pasien. Peran perawat meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberi landasan pandangan tentang
masing-masing pasien.
2.
Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi
pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien
3.
Pemberian agen psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang secara
professional dan bersifat individual
4.
Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping yang
dapat dialami pasien.
5.
Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan
efektif
6.
Program Rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan
perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7.
Partisipasi dalam penelitian klinis antar disiplin tentang uji coba obat.
8.
Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan
untuk mengobati pasien gangguan jiwa
9.
Kewenangan untuk memberi resep
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu somatik terapi (terapi
fisik) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian obat psikofarmaka.
Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan untuk
mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah
Sakit Jiwa adalah Chlorpromazine, Halloperidol, dan Trihexypenidil. Obat-obatan
yang diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien
gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut,
seperti pusing, sedasi, pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi.
Untuk menghindari hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung
berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi terhadap
perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek dari pemberian obat
psikofarmaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang
pernah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bandung, ternyata perawat tidak
melakukan asuhan keperawatan pemberian obat secara tepat, misalkan : Perawat
hanya memanggil klien satu persatu tanpa cek kondisi umum klien, misal
pemeriksaan tekanan darah, dan lain-lain. Bagi klien yang dapat berjalan lalu
dibagikan obat tersebut tanpa tindak lanjut monitoring efek dari obat tersebut.
Ada yang dibuang, disembunyikan atau dimakan tanpa diketahui sejauh mana efek
obat tersebut. Akibat kurang intensifnya observasi dalam pemberian obat
mengakibatkan beberapa klien mengalami efek samping seperti gatal-gatal, bahkan
ada yang sampai melepuh yang kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum, penglihatan
kabur yang disertai mata menonjol. Derajat hubungan antara pengetahuan perawat
tentang psikofarmaka dengan pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat
sebagian dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan.
Dengan demikian berarti bahwa
pengetahuan hanya merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas
pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat pada klien gangguan jiwa di
RSJP Bandung, dimana masih ada faktor lain yang mempengaruhi seperti, sikap
perawat terhadap pelaksanaan, protap pelaksanaan dan kebijakan-kebijakan yang
mempengaruhi pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat.
3.2 Saran
Perawat jiwa yang ada di rumah sakit
(rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, panti kesehatan jiwa, yayasan yang merawat
pasien gangguan jiwa), pengajar keperawatan jiwa di sekolah keperawatan,
perawat jiwa yang ada di struktur departemen kesehatan dan dinas kesehatan
diharapkan bersatu padu untuk menyuarakan kesehatan jiwa pada setiap kesempatan
mulai dari sekarang pada setiap orang yang ditemui. Kegiatan yang dilakukan
bisa berupa advokasi dan action.
DAFTAR
PUSTAKA
Keliat,
B.A. dkk.2007. Advance Course Community Mental Health Nursing. Manajemen Community Health Nursing District
Level: Jakarta
http://www.docstoc.com/docs/PERAN
-PERAWAT-PADA REHABILITASI-KLIEN-GANGGUAN-JIWA
1 komentar:
Thank you banyak kak. Omong-omong aku suka banget tampilan blognya ><
Posting Komentar