BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari banyak pulau. Karena
itu Indonesia terkenal akan kekayaan budaya dan suku bangsanya yang beraneka
ragam. Dimana dalam masing-masing daerah memiliki ciri khas budaya dan kebiasaannya.
Melihat ke Pulau paling Timur dari Indonesia yang dikenal dengan
nama Merauke yaitu Papua yang memiliki banyak keistimewaan dan nilai-nilai
tradisi yang belum banyak dipengaruhi oleh globalisasi. Dimana tradisi-tradisi
dan adat kepercayaannya masih dipertahankan dan dilestarikan. Pulau yang
Terkenal dengan Cartenz Pyramid, yang memiliki salju abadi di puncaknya,
menjadi daya tarik tersendiri, bagi para wisatawan. Lautnya yang terkenal
jernih dengan pemandangan yang begitu eksotis dan biota laut yang masih langka
pun ada di Papua.
Manusia sebagai mahkluk yang unik mengembangkan pikiran yang sangat
luas sehingga bisa mempertahankan hidup
di dunia ini. Demikianlah nenek moyang masyarakat Papua mendefinisikan bahwa manusia dalam ungkapan
filosofis ini menggambarkan betapa tidak
berkesudahan perjuangan manusia untuk mencapai titik kepastian akan sebuah kehidupan. Manusia adalah sebuah perkembangan yang terus
– menerus. Manusia selalu mengarahkan pandangan ke masa depan sambil tetap
terus berpijak kepada kepastian masa sekarang.
Tidak mudah bagi nenek moyang masyarakat Papua dahulu berpikir untuk
menciptakan kebudayaan guna kebaikan masa depan generasi penerusnya. Betapapun
kecilnya kemajuan dan perubahan pemikiran mereka, harus dikelola dengan baik
dan bijak supaya semua generasi penerusnya dapat berkembang dengan melestarikan
kebudayaannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tradisi bakar batu ?
2. Bagaimana latar belakang tradisi bakar
batu ?
3. Apa makna tradisi bakar batu ?
4. Bagaimana tata cara / pelaksanaan
tradisi bakar batu ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian tradisi
bakar batu.
2. Untuk mengetahui latar belakang tradisi
bakar batu.
3. Untuk mengetahui makna tradisi bakar
batu.
4. Untuk mengetahui tata cara /
pelaksanaan tradisi bakar batu.
1.4 Manfaat Pembahasan
1.
Bagi Pembaca
·
Memberikan
gambaran umum tentang tradisi bakar batu.
2.
Bagi Penulis
·
Dapat
melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3.
Bagi Pengajar
· Sebagai referensi dan wujud nyata dari evaluasi atau materi yang diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tradisi
Bakar Batu
Disebut "bakar batu"
karena masyarakat Papua memasak menggunakan batu yang terlebih dahulu dibakar. Bakar batu merupakan sebuah tradisi budaya nenek moyang
maasyarakat Papua dan diwariskan hingga kini. Bakar batu dari bahasa lani biasa
disebut dengan “lago lakwi“ yang artinya membakar atau memasak segala
jenis makanan menggunakan batu, bukan menggunakan kompor atau alat teknologi modern
lainnya. Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah
makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar
batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah
sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan “gapii”
atau “mogo gapii”, masyarakat Wamena menyebutnya “kit oba isago”,
sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan “barapen”. Namun
tampaknya “barapen” menjadi istilah yang paling umum
digunakan.
2.2 Latar Belakang
Tradisi Bakar Batu
Pada zaman dahulu,
nenek moyang masyarakat Papua ingin mengolah hasil kebun dan hasil pertanian
mereka, tetapi ketika akan memasak tidak ada pancinya. Maka salah seorang bapak
dengan istrinya berpikir dan mengambil batu di sungai kemudian memasukkannya ke
dalam tungku api. Ia menunggu selama beberapa menit sampai batu itu panas dan
menjadi arang. Kemudian ia membuat kolam
bundaran kecil di dalam rumah, lalu
mengambil dedaunan kemudian diletakkan
dedaunan tersebut di kolam bundaran kecil itu sebagai alas. Selanjutnya, ia
menyusun batu di kolam sesuai dengan ukuran kolam. Tak ketinggalan sayuran dan
umbi – umbian dimasukkan pula ke dalam kolam bundaran kecil tersebut. Kemudian ia menutupinya dengan dedaunan
sampai beberapa jam lalu di buka, dan hasilnya lezat untuk dimakan.
Dari situ mereka mulai berkembang untuk membuat tradisi bakar batu.
Semakin lama semakin berkembang di seluruh pelosok daerah pengunungan tengah
sampai kini. Walaupun masakannya dengan dedaunan maupun umbi - umbian tetapi
mereka tak bisa meninggalkan tradisi ini, karena ini merupakan makanan khas
mereka dan makanan ini pun tidak mengandung zat kimia dan proteinnya lebih tinggi.
2.3 Makna Tradisi Bakar
Batu
1.
Ucapan syukur atas berkat yang melimpah.
2. Menyambut kelahiran.
3.
Penghormatan terakhir atas kematian.
Upacara
kematian dilakukan karena ada pihak keluarga yang ingin agar duduk dan makan
bersama dengan saudara-saudaranya (neak nami).
4.
Mengumpulkan prajurit untuk berperang.
5.
Sarana memulihkan keharmonisan hidup manusia yang terganggu dendam dan
peperangan
atau kematian (simbol perdamaian).
Perdamaian
dilakukan pada puncak upacara yakni bakar batu. Karena mungkin ada
masalah-masalah yang belum terselesaikan, sehingga upacara bakar batu
dilaksanakan dengan maksud damai dan tidak ada dendam di kemudian hari.
6. Untuk
menyambut tamu penting (gubernur, presiden) yang berkunjung ke daerah Papua.
7.
Ungkapan rasa saling memaafkan di antara mereka.
8.
Merayakan kemenangan dalam peperangan antar suku.
9.
Merayakan pernikahan.
Sementara
upacara pernikahan, bakar batu dilakukan karena ingin memberikan makan kepada neak
nami tersebut, serta ucapan syukur.
2.4 Tata Cara /
Pelaksanaan Tradisi Bakar Batu
1. Tahap Persiapan
Prosesi acara
adat ini sendiri sudah dimulai sejak pagi hari dengan kepala suku yang hanya
mengenakan pakaian tradisional Papua berupa topi kepala suku dan koteka
berkeliling ke rumah-rumah mengundang para warga.
Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan
dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai
berikut : pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya
ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih
kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian
tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Proses ini memakan waktu sekitar 4-5 jam. Semua ini umumnya
dikerjakan oleh kaum pria.
Menjelang siang dilakukan pemburuan hewan yang
akan dijadikan persembahan dan nantinya dinikmati bersama-sama dengan seluruh
warga. Peserta pesta yang lain berkumpul mengelilingi tempat acara, sambil
menari-nari.
Hewan yang akan
dijadikan hidangan haruslah dibunuh dengan cara dipanah tepat di jantungnya. Menurut
kepercayaan adat, hewan yang langsung mati pada sekali panah menandakan
ketulusan hati si pemilik acara. Jika hewan tersebut tidak langsung mati,
artinya masih ada ganjalan yang perlu diungkapkan oleh si pemilik acara. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu merupakan pertanda bahwa
acara akan sukses. Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini ada yang tidak
beres dengan acara tersebut. Hewan buruan
yang sudah dibunuh ini lantas dimasukkan ke dalam sebuah liang yang tersedia.
Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga
yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak mereka akan
membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak goreng, garam, gula,
kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa masing-masing
harus berpelukan erat dan berciuman pipi.
2. Tahap Memasak
Untuk
mempersiapkan hidangan ini, warga menggali tanah dengan diameter minimal dua
meter dan kedalaman kurang lebih 50cm hingga satu meter hingga menyerupai
wajan, lalu di atasnya diletakkan batu-batu yang tadi sudah dipanaskan. Di atas
batu-batu panas itu diletakkan berhelai-helai daun pisang dengan menggunakan
jepit kayu khusus, yang disebut apando, yang nantinya berfungsi sebagai alas
memasak. Baru setelah itu dimasukkanlah sayur-mayur berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun
singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu
parang), dan towabug atau hopak (jagung); ubi-ubian (hipere) serta daging-daging hewan utuh seperti ayam
dan/atau babi (wam) ; bumbu masak yang digunakan hanyalah garam. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki
belakang. Seluruh isi perut
babi dikeluarkan menyisakan daging dan lemak tebal yang menempel di kulit. kadang masakan itu akan
ditambah dengan potongan barugum (buah).
Setelah bahan
masakan dimasukkan, lalu ditutupi lagi dengan daun-daun pisang dan batu-batu
panas kemudian ditaburi tanah sebagai penahan agar uap panas dari batu tidak
menguap. Proses memasak semua bahan makanan ini memakan waktu setidaknya 2 jam.
Sewaktu menunggu makanan masak acara selanjutnya adalah seromonial berupa
kata sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat,tokoh gereja dan juga
nyanyi-nyanyian pujian yang dibawakan oleh masyarakat.
Setelah
matang, makanan akan dihamparkan di atas rerumputan kemudian diberi sari dari
buah merah, buah khas Papua. Buah itu diremas-remas hingga keluar pastanya.
Pasta dari buah merah dituangkan di atas daging babi dan sayuran yang
ditambah dengan penyedap rasa dan garam.
3. Tahap Makan Bersama
Sembari
menunggu hidangan matang, para undangan yang berdatangan akan duduk secara
berkelompok. Sebagian dari mereka yang datang menggunakan baju adat seperti
sali (rok rumbai-rumbai jerami untuk wanita khas Papua) dan menghias tubuh dan
muka mereka dengan make-up yang terbuat dari campuran pinang, sirih dan kapur. Gundukan
batu mulai dibongkar. Daging babi, ubi dan sayuran yang sudah matang itu siap
dihidangkan. Tujuh suku, Kamoro - Amungme - Dani - Ekari, Mee - Damal - Nduga
dan Moni, duduk secara berkelompok, mulai dari anak-anak sampai orang tua.
Inilah acara makan bersama sebagai puncak acara pesta bakar batu. Ketika
hidangan matang, para ibu akan membagikan sayur-mayur dan ubi-ubian kepada
tiap-tiap kelompok, sementara kepala suku dan asistennya akan mengangkat dan
memotong-motong daging babi yang dimasak. Daging babi yang dimasak harus cukup
untuk setiap orang yang datang. Setelah daging-daging dipotong sejumlah
undangan yang hadir atau lebih, seorang ibu akan datang membawa noken (tas
tradisional Papua) dan memasukkan daging-daging itu ke dalam noken untuk
selanjutnya membagikan kepada kelompok-kelompok warga yang hadir. Proses
memakan makanan yang telah dimasak dimulai dengan kepala suku, kemudian anggota
sukunya. Aturan lazim dalam upacara bakar batu adalah setiap orang wajib
menikmati hidangan di tempat acara dan tidak sebaiknya membawa pulang daging
tersebut.
Selesai makan
biasanya mereka mengadakan acara goyang. Acara goyang diiringi dengan musik dan
lagu daerah mereka yang namanya weya
rabo/ wisisi dan besek. Melalui acara
goyang ini juga dijadikan ajang mencari jodoh atau saling jatuh cinta antara
pria dan wanita.
Pesta Bakar
Batu merupakan acara yang paling dinantikan warga Papua. Mereka bahkan rela
meninggalkan dan menelantarkan ladang dangan
tidak bekerja selama berhari-hari untuk
mempersiapkan pesta ini. Selain itu, mereka juga
bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta ini. Pesta
ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya,
Papua, Indonesia. Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika
sebagai upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di
rumah warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan
syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah lapangan
besar. Pengunjung yang ingin menyaksikan pesta ini tidak
dipungut biaya. Namun, jika yang didatangi adalah pesta untuk upacara kematian,
maka biasanya tamu membawa buah tangan. Biasanya, Pesta Bakar Batu ini dilaksanakan di tempat-tempat terpencil,
oleh karena itu sulit untuk mendapatkan fasilitas yang memadai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Disebut "bakar batu" karena masyarakat Papua memasak
menggunakan batu yang terlebih dahulu dibakar. Tradisi ini mempunyai banyak
makna bagi masyarakat Papua. Bakar batu sendiri terdiri dari 3 tahap dalam
pelaksanaannya yaitu : Tahap persiapan, tahap memasak, dan tahap makan bersama.
3.2 Saran
Di dunia ini semua manusia mempunyai budaya masing – masing yang
tidak sama antara satu dengan lainnya. Bakar batu tersebut berasal dari nenek
moyang mereka yang telah mewariskan secara turun temurun dan hingga kini masih
menjadi bagian dari rutinitas mereka. Manusia tidak bisa tinggalkan budaya, di
mana ada manusia pasti ada budaya dan
mewariskan turun – temurun karena budaya merupakan hasil pemikiran
manusia dan anugerah Tuhan.
1 komentar:
KESAKSIAN KISAH NYATA 2017
Kesaksian Edisi 2017. Nama: Bpk. Hidayat M.Rohadi. Kota: Semarang. Jawa Tengah
Segala Syukur Saya Ucapkan Kepada Allah SWT, Atas Segalah Kuasanya Hingga Ada Sosok Seperti Mbah Bintang Jagat Dimuka Bumi ini Yang Dianugerahi Kekuatan Spiritual Islami, Mbah Bintang Telah Memberikan Saya Dan Keluarga Saya Kebahagiaan, Berkat Bantuan DANA GHOIB 15 Milyar Yang Mbah Bintang Jagat Berikan Kini Bisnis PROPERTY Keluarga Yang Saya Jalankan Sekarang Sudah Sudah Hampir Selesai Pembangunan, DANA GHAIB Dari Mbah Bintang Jagat Saya Pakai Untuk Pelunasan Tanah Dan Sisanya Untuk Pembangunannya..
Saya Ucapkan Terima Kasih Kepada Mbah Bintang Jagat Karna Bantuan Anda, Akhirnya saya Bisa Sukses, Semoga Anda Juga Merasakan Keberuntungan Saya ini, Demikian Kesaksian Saya Buat Tanpa Adanya pemaksaan Dari Pihak manapun, Wassalam
KLIK:> Solusi Kemelut Ekonomi 2017
Posting Komentar