BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Keperawatan merupakan salah satu
profesi yang berkecimpung untuk kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan
bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan
fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat
pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara
bergantian. Sehingga perawat perlu mengetahui dan memahami tentang etik itu
sendiri termasuk didalamnya prinsip etik dan kode etik.
Hubungan antara perawat dengan
pasien atau tim medis yang lain tidaklah selalu bebas dari masalah. Perawat
profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin
meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan
dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan
dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan
dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional,
dan negara bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik
dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien,
profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung
jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Para
perawat juga harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik
keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan
tindakan profesional yang mereka lakukan (Ismaini, 2001)
Dalam berjalannya proses semua
profesi termasuk profesi keperawatan di dalamnya tidak lepas dari suatu
permasalahan yang membutuhkan berbagai alternative jawaban yang belum tentu
jawaban-jawaban tersebut bersifat memuaskan semua pihak. Hal itulah yang sering
dikatakan sebagai sebuah dilema etik. Dalam dunia keperawatan sering kali
dijumpai banyak adanya kasus dilema etik sehingga seorang perawat harus
benar-benar tahu tentang etik dan dilema etik serta cara penyelesaian dilema
etik supaya didapatkan keputusan yang terbaik.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian truth telling ?
2. Apa
tujuan truth telling ?
3. Apa
manfaat truth tellling ?
4. Apa
pentingnya truth telling ?
5. Apa
yang dimaksud dengan desepsi ?
6. Apa
yang perlu diperhatikan dalam truth telling ?
7. Bagaimana
truth telling sebagai hak pasien ?
8. Bagaimana
contoh kasus truth telling beserta penyelesaiannya ?
1.3
Tujuan Pembahasan
1. Dapat
memahami pengertian truth telling.
2. Dapat
memahami tujuan truth telling.
3. Dapat
memahami manfaat truth tellling.
4. Dapat
memahami pentingnya truth telling.
5. Dapat
memahami apa yang dimaksud dengan desepsi.
6. Dapat
memahami apa yang perlu diperhatikan dalam truth telling.
7. Dapat
memahami truth telling sebagai hak pasien.
8. Dapat
memahami contoh kasus truth telling beserta penyelesaiannya.
1.4
Manfaat Pembahasan
1.
Bagi Pembaca
Memberikan
gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan mengenai truth telling.
2.
Bagi Penulis
Dapat
melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3.
Bagi Pengajar
Sebagai referensi dan wujud nyata dari evaluasi atau materi yang
diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Truth Telling
Truth
telling adalah komponen etik yang harus dimiliki seorang tenaga kesehatan
sesuai dengan sumpah hipokrates dan perilaku profesional dalam menyampaikan
kebenaran mengenai kondisi pasien.
Truth
telling merupakan salah satu bentuk komunikasi antara tenaga kesehatan
dengan pasien dalam menyampaikan kebenaran yang berkaitan dengan
kondisi pasien.
2.2 Tujuan Truth Telling
1. Memfasilitasi
terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien).
2. Membantu
pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk kepentingan
pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansial.
3. Membantu
memberikan pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien.
4. Membimbing
pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit / masalah yang
dihadapinya.
5. Membantu
mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau hal-hal yang
telah disetujui pasien.
2.3 Manfaat Truth Telling
1. Meningkatkan
kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau institusi
pelayanan medis.
2. Meningkatkan
kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan dokter-pasien
yang baik.
3. Meningkatkan
keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.
4. Meningkatkan
kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi
penyakitnya.
2.4 Pentingnya Truth Telling
Truth
telling sangat penting dalam hubungan dokter dengan pasien, truth telling
sangat berperan dalam pengambilan keputusan secara otonomi oleh pasien
untuk memilih dan bertindak demi kebaikan pasien secara matang dan tepat. Dalam
pengambilan keputusan tersebut bertumpu pada otonomi individu pasien seutuhnya
dimana setelah dokter menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan
kondisinya (truth telling) diharapkan pengambilan keputusan tersebut
pasien dapat memilih keputusan yang rasional dan ia yakin bahwa keputusan
tersebut merupakan keputusan yang terbaik baginya. Tanpa adanya truth telling
maka akan menyebakan terhambatnya pengambilan keputusan pasien dan menghilangkan
kepercayaan pasien dalam hubungannya dengan dokter.
Konsep
kejujuran (veracity) merupakan prinsip etis yang mendasari berkata
jujur. Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai
menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Kejujuran harus dimiliki
perawat saat berhubungan dengan psien. Kejujuran merupakan dasar terbinanya
hubungan saling percaya antara perawat – pasien. Perawat sering tidak
memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang sakit parah. Namun, penelitian
pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu
tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978).
Seperti
juga tugas yang lain, berkata jujur bersifat prima facie (tidak mutlak)
sehingga desepsi pada keadaan tertentu diperbolehkan. Berbagai alasan yang
dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat harus berkata jujur yaitu :
merupakan hal yang penting dalam hubungan saling percaya perawat – pasien ;
pasien mempunyai hak untuk mengetahui ; merupakan kewajiban moral ; menghilangkan
cemas dan penderitaan ; meningkatkan kerjasama pasien maupun keluarga ; dan memenuhi kebutuhan perawat.
2.5 Desepsi
Berasal
dari kata decieve yang berarti membuat orang percaya terhadap sesuatu
hal yang tidak benar, menipu atau membohongi.
Desepsi meliputi :
· berkata
bohong
· mengingkari
atau menolak
· tidak
memberikan informasi
· dan
tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan/ tidak memberi
penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkata
bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan
ini seseorang dituntut untuk membenarkan sesuatu yang diyakini salah. Salah
satu contoh tindakan desepsi adalah perawat memberikan obat plasebo dan tidak
memberitahu pasien tentang obat apa yang sebenarnya diberikan tersebut.
Tindakan
desepsi ini secara etika tidak dibenarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa
tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas tentang siapa yang diharapkan
melakukan tindakan tersebut.
Alasan-Alasan
yang mendukung tindakan desepsi (mengatakan suatu hal yang tidak benar, menipu,
atau membohongi) dalam Robert Priharjo (Pengantar Etika Keperawatan : 22)
meliputi :
Pasien
tidak mungkin dapat menerima kenyataan.
Pasien
menghendaki untuk tidak diberitahu bila hal tersebut menyakitkan.
Secara
profesional perawat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan yang merugikan
pasien, dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan kerja sama
pasien ( Freel; lih. McCloskey, 1990)
Mengucapkan
pernyataan yang benar tidak menjamin berkurangnya penipuan karena terdapat
kemungkinan pernyataan tersebut untuk menyesatkan atau menipu seseorang bahkan
ketika yang disampaikan adalah laporan yang benar. Hal ini telah lama dikenal
dalam kata-kata nasihat yang terkenal untuk “tell the truth, the whole truth,
and nothing but the truth.” (mengatakan kebenaran, seluruh kebenaran, dan tidak
ada yang lain tetapi kebenaran).
Berbohong adalah
penipuan, tetapi ada bentuk-bentuk lain yaitu :
Beberapa
orang menganggap kebohongan yang tidak penting menjadi "kebohongan
putih" atau "fibbing." Jadi, misalnya, jika Anda tiba-tiba
bertemu seorang teman lama yang benar-benar tidak terlihat menarik, Anda
mungkin masih mengatakan kepadanya bahwa ia "tampak hebat." Konsultan
kesehatan profesional mungkin juga mengucapkan kebohongan putih untuk mencoba
menghibur pasien.
"False
suggestion" terjadi ketika seseorang membuat pernyataan benar tetapi
melewatkan informasi penting sehingga pendengar memiliki keyakinan yang salah.
"Eufemisme"
adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan
kasar. Menyebut sebuah tumor "beberapa jaringan" atau
"pertumbuhan" dapat menyesatkan orang sehingga berpikir situasi
tersebut kurang serius daripada yang sebenarnya. Tenaga kesehatan profesional
kadang-kadang menggunakan eufemisme untuk menghindari pasien dari keterkejutan
atau kekhawatiran.
Membesar-besarkan
dalam bentuk pernyataan yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk penipuan.
Penipuan
dapat terjadi dengan sengaja menahan, bersembunyi, menutupi, atau
menyembunyikan kebenaran tanpa membuat pernyataan palsu. Seorang anak yang
sengaja membuang nilai ulangan yang buruk untuk merahasiakannya dari orang tua
dapat menyesatkan orang tua karena berpikir anak tersebut melakukan yang lebih
baik di sekolah daripada sebenarnya. Selama bertahun-tahun tenaga kesehatan
profesional mungkin terlibat dalam banyak kasus penipuan pasien ketika mereka
pikir itu untuk kebaikan pasien.
2.6 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Truth
Telling
Ada
hal - hal yang perlu di perhatikan dalam berkomunikasi untuk menyampaikan
kebenaran kepada pasien, yaitu:
1.
Materi informasi apa yang akan diberikan
Menurut
pasal 45 Undang-Undang Praktik Kedokteran, batasan informasi yang dapat
diberikan pada pasien antara lain:
a) Diagnosis
dan tata cara tindakan medis.
b) Tujuan
tindakan medis yang dilakukan.
c) Alternatif
tindakan lain dan resikonya.
d) Risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi.
e) Prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
2.
Siapa yang diberi informasi
a) Pasien,
apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
b) Keluarganya
atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
c) Keluarganya
atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas pasien
kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara
langsung.
3.
Berapa banyak dan sejauh mana informasi
yang diberikan
a) Untuk
pasien : sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu untuk
disampaikan, dengan memerhatikan kesiapan mental pasien.
b) Untuk
keluarga : sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan sebanyak yang dokter
perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
4.
Di mana tempat yang tepat untuk
menyampaikannya
a)
Di ruang praktik dokter.
b)
Di bangsal, ruangan tempat pasien
dirawat.
c)
Di ruang diskusi.
d)
Di tempat lain yang pantas, atas
persetujuan bersama, pasien/keluarga dan dokter.
5.
Bagaimana menyampaikannya informasi yang
tepat
- Informasi penting sebaiknya
dikomunikasikan secara langsung,tidak melalui telpon, juga tidak
diberikan dalam bentuk tulisan yangdikirim melalui pos, faksimile, sms,
internet.
- Persiapan meliputi:
• materi
yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah
disepakati oleh tim);
• ruangan
yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang,
suara gaduh dari tv/radio,telepon;
• waktu
yang cukup;
• mengetahui
orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh keluarga/orang yang
ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya lebih dari satu orang).
- Jajaki sejauh mana pengertian
pasien/keluarga tentang hal yang akan dibicarakan. Tanyakan kepada
pasien/keluarga, sejauh mana informasi yang diinginkan dan amati kesiapan
pasien/keluarga menerima informasi yang akan diberikan.
Dalam
memberikan informasi kepada pasien, kadang kala agak sulit menentukan informasi
yang mana yang harus diberikan, karena sangat bergantung pada usia,
pendidikan, keadaan umum pasien dan mentalnya. Namun pada umumnya dapat
berpedoman pada hal-hal berikut :
1)
Informasi yang diberikan haruslah dengan
bahasa yang dimengerti oleh pasien.
2)
Pasien harus dapat memperoleh informasi
tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan diambil, kemungkinan
komplikasi dan risiko-risikonya.
3)
Untuk anak-anak dan pasien panyakit
jiwa, informasi diberikan kepada orang tua atau walinya.
Siapakah
yang berkewajiban menyampaikan informasi tersebut?
4)
Pihak yang paling tepat tentulah
yang paling mengetahui keadaan pasien. Dalam hal ini, dokter yang bertanggung
jawab terhadap perawatan pasien. Dalam Undang-undang R.I. No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pasal 52 dinyatakan bahwa hak-hak pasien adalah
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat
dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
5)
Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan
mengenai hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban pasien yang di
antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak pasien
sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual
dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination).
Keberhasilan
komunikasi antara dokter dan pasien dalam penyampaian informasi pada
umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak,
khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu
sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan
berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih. Dalam truth telling pun
dibutuhkan adanya empati yang juga sangat penting dalam menyampaikan informasi
dan kebenaran kondisi pasien. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan
definisi berikut :
- Kemampuan kognitif seorang dokter
dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive capacity to
understand patient’s needs),
- Menunjukkan
afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective
sensitivity to patient’s feelings),
- Kemampuan perilaku dokter dalam
memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability
to convey empathy to patient).
- Menurut Verberne fungsi informasi
dalam penyampaian truth telling bagi dokter adalah Informasi itu tidak
hanya sungguh-sungguh penting untuk memperoleh izin/persetujuan yang
disahkan oleh hukum, tetapi juga sesuatu yang bagaimanapun menjadi hak
setiap pasien, antara lain karena adanya itikad baik yang mendasari setiap
situasi perjanjian/kontrak. Ini berarti bahwa fungsi informasi itu adalah
untuk melindungi dan menjamin pelaksanaan hak pasien yaitu
untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya yang dianggap
lebih penting daripada pemulihan kesehatannya itu sendiri. Di samping itu,
informasi dari dokter tersebut harus diberikan berdasarkan
itikad baik dari dokter yang bersangkutan. Dalam memberikan informasi
dokter tidak hanya memberikan informasi atas semua pertanyaan yang diajukan
oleh pasien tentang penyakitnya tetapi jugaharus memberikan informasi
lain, baik berdasarkan adanya pertanyaan maupun tanpa adanya pertanyaan
dari pasiennya. Sebab berdasarkan itikad baik yang dimaksudkan di
atas, berarti informasi itu merupakan hak pasien dan kewajiban dari dokter
untuk memberikannya. Namun tidak semua pasien dapat menerima dan
memahami informasi yang diberikan oleh dokter.
2.7 Truth Telling sebagai Hak Pasien
Dalam hubungan dokter dan pasien,
pasien memiliki hak-haknya yang harus dihormati oleh para dokter. Dalam KODEKI
terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang merupakan
pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasrnya hak-hak pasien
antara lain:
- Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya
sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
- Memperoleh pelayanan kedokteran
yang manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran.
- Memperoleh penjelasan tentang
diagnosis dan terapi dari dokter yangmengobatinya.
- Menolak prosedur diagnosis dan
terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak
terapeutik.
- Berhubungan dengan keluarga,
penasihat, atau rohaniawan, dan lain-lain yang diperlukan selama perawatan
di rumah sakit.
Ada 4 kelompok/golongan pasien yang
tidak perlu mendapatkan informasi yang sebenarnya secara langsung :
- Pasien yang akan dirugikan jika
mendengar informasi tersebut, misalnya karena kondisinya tidak
memungkinkan untuk mendengarkan informasi yang dikhawatirkan dapat
membahayakan kesehatannya.
- Pasien yang sakit jiwa dengan
tingkat gangguan yang sudah tidak memungkinkan untuk berkomunikasi
(cara berpikirnya tidak realistis, tidak bisa mendengar karena
terperangkap oleh pemikirannya sendiri; menarik diri dari lingkungan dan
mungkin hidup dalam dunia angannya sendiri, sulit kontak atau berkomunikasi
dengan orang lain; tidak peduli pada dirinya sendiri maupun orang
lain/lingkungan, tidak peduli pada tampilannya, tidak merawat
diri; mengalami kesulitan berpikir dan memusatkan perhatian, alur
pikirnya tidak jelas, tidak logis; afeksi sukar atau tidak tersentuh).
- Pasien yang belum dewasa.
Seseorang
dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur 21 tahun,
atau
bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah. Pasal 1330
KUHPerdata, menyatakan bahwa seseorang yang tidak cakap untuk membuat
persetujuan adalah orang yang belum dewasa. Menurut KUH Perdata Pasal 1330,
belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum menikah. Oleh karena
perjanjian medis mempunyai sifat khusus maka tidak semua ketentuan hukum
perdata di atas dapat diterapkan. Dokter tidak mungkin menolak mengobati pasien
yang belum berusia 21 tahun yang datang sendirian ke
tempat praktiknya. Permenkes tersebut menyatakan umur 21 tahun sebagai
usia dewasa. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak Bab 1 Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud anak-anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun.
4.
Pasien yang tidak ingin mengetahui tentang penyakitnya. Dalam hal ini berlaku
hak autonomy. Dimana pada saat ini dokter tidak akan melakukan truth telling
sebab pasien sendiri menyatakan suatu preferensi informasi untuk tidak
mengatakan yang sebenarnya. Hal ini sangat penting karena pasien memikirkan
dengan implikasi peran mereka dalam pengambilan keputusan. Jika mereka
memilih untuk membuat keputusan untuk tidak diberitahu,
bagaimanapun, preferensi ini harus dihormati. Dalam melakukan komunikasi,
dokter perlu memahami bahwa yang dimaksud dengan komunikasi tidaklah hanya
sekadar komunikasi verbal, melalui percakapan namun juga mencakup pengertian komunikasi
secara menyeluruh. Dokter perlu memiliki kemampuan untuk menggali dan
bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien pada semua
usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lain. Kalau tidak
berhati-hati dalam melakukan komunikasi, dokter bisa berhadapan dengan sanksi
atau ancaman hukum karena dianggap melakukan pelanggaran.
Pada penyakit yang
serius, truth telling dibagi menjadi 4 yaitu:
- Truth Telling of Hope : yaitu
memberikan informasi yang tidak boleh langsung memvonis harapan hidup
seorang pasien yang sudah menderita penyakit yang parah namun
memberikan harapan kepada pasien dan membuatnya percaya akan kesembuhannya.
- Truth Telling of Complience : yaitu
memberikan informasi tentang kondisi yang sebenarnya kepada pasien
namun tetap memperhatikan kondisi mental pasien apakah ia dapat
menerimanya.
- Truth Telling of Rejection of
Treatment : yaitu berterus terang atas penolakan pengobatan yang akan
diberikan setelah dipertimbangkan dengan matang oleh pasien.
- Truth Telling in Case of Wrong
Diagnosis : yaitu berterus terang atas kesalahan dokter dalam
mendiagnosis penyakit pasien secara terbuka untuk membangun
kepercayaan dengan pasien dan mengindari kesalahan-kesalahan dalam
proses pengobatan.
Ada dua macam kondisi
dalam truth telling yaitu :
- Rasional Truth Telling
Informasi
yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien diperlukan untuk kesadaran
pasien dalam penyembuhannya sehingga keputusan diambil secara rasional.
2. Emergency
Truth Telling
Saat ini dokter terkadang mengurangi informasi- informasi yang bisa membahayakan kondisi mental pasien. Jika bisa melemahkan kondisi pasien apabila diberitahukan namun jika si pasien meminta sendiri maka dokter pun harus memberitahunya pula.
Saat ini dokter terkadang mengurangi informasi- informasi yang bisa membahayakan kondisi mental pasien. Jika bisa melemahkan kondisi pasien apabila diberitahukan namun jika si pasien meminta sendiri maka dokter pun harus memberitahunya pula.
Aspek-aspek yang harus
diperhatikan dalam penyampaian informasi menurut KKI :
- Disampaikan
dalam konteks sosial dan budaya serta latar belakang pasien.
- Menawarkan
pasien untuk melibatkan keluarga dalam diskusi.
- Disampaikan
dengan penuh empati terutama informasi yang akan membuat pasien merasa
tertekan.
- Menjawab
semua pertanyaan dengan baik dan benar.
- Memberikan
cukup waktu kepada pasien untuk menelaah informasi.
- Jika
diperlukan, mengajak salah satu tim medis untuk memberi dukungan atau
membantu memberi penjelasan.
2.8 Contoh Kasus
Suatu hari ada seorang bapak bernama
Tono dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit dengan gejala demam dan
diare, mual, dan muntah kurang lebih selama 6 hari. Selain itu bapak tersebut
menderita batuk dan sakit tenggorokan sudah 6 bulan tidak sembuh-sembuh, serta berat
badannya turun secara berangsur-angsur. Semula bapak tersebut badannya gemuk
tapi 3 bulan terakhir ini badannya semakin kurus dan telah turun 10 Kg dari
berat badan semula. Bapak Tono ini merupakan seorang mantan TKI di Malaysia
yang baru pulang 5 bulan yang lalu.
Bapak ini masuk UGD kemudian dari
dokter disarankan untuk opname di ruang penyakit dalam karena kondisi Pak Tono
yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Bapak Tono
melakukan kunjungan, dan memberikan saran kepada perawatnya untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darah Pak Tono. Pak Tono yang
ingin tahu sekali tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera
memberi tahu penyakitnya setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya
pukul 16.00 WIB hasil pemeriksaan telah diterima oleh perawat tersebut dan
telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa Pak Tono positif
terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga Pak
Tono untuk menghadap dokter yang menangani Pak Tono. Bersama dokter dan seijin
dokter tersebut, perawat menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya.
Keluarga terlihat kaget dan bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama
perawat untuk tidak memberitahukan penyakit yang diderita Pak Tono ini kepada Pak
Tono. Keluarga takut Pak Tono akan frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan
dikucilkan oleh masyarakat.
Perawat tersebut mengalami dilema
etik dimana di satu sisi dia harus memenuhi permintaan keluarga namun di sisi
lain perawat tersebut harus
memberitahukan kondisi yang dialami oleh Pak Tono karena itu merupakan hak
pasien untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Perawat tersebut berusaha untuk
memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang
dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain itu dia juga harus melaksanakan
kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien salah satunya adalah
memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi yang sebenarnya tentang
kondisi dan penyakitnya.
Dengan keputusan keluarga pasien
yang berlawanan dengan keinginan pasien tersebut maka perawat harus memikirkan
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan berbagai konsekuensi dari
masing-masing alternatif tindakan. Etika perawat melandasi perawat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Dalam penyelesaian kasus dilema etik
seperti ini diperlukan strategi untuk mengatasinya karena tidak menutup
kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat antar tim medis yang terlibat termasuk
dengan pihak keluarga pasien. Jika perbedaan pendapat ini terus berlanjut maka
akan timbul masalah komunikasi dan kerjasama antar tim medis menjadi tidak
optimal. Hal ini jelas akan membawa dampak ketidaknyamanan pasien dalam
mendapatkan pelayanan keperawatan. Berbagai model pendekatan bisa digunakan
untuk menyelesaikan masalah dilema etik ini. Tapi disini kelompok kami akan
mencoba menyelesaikan kasus ini berdasarkan pendekatan model Megan,
kerangka penyelesaian sebagai berikut :
1. Mengkaji
situasi
Dalam hal ini perawat harus bisa
melihat situasi, mengidentifikasi masalah/situasi dan menganalisa situasi. Dari
kasus diatas dapat ditemukan permasalahan atau situasi sebagai berikut :
·
Pak Tono dapat menggunakan haknya sebagai pasien untuk mengetahui
penyakit yang dideritanya sekarang sehingga Pak Tono meminta perawat tersebut
memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan kepadanya.
·
Rasa kasih sayang keluarga terhadap Pak Tono membuat
keluarganya berniat menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut
dan meminta perawat untuk tidak menginformasikannya kepada Pak Tono dengan
pertimbangan keluarga takut jika Pak Tono akan frustasi tidak bisa menerima
kondisinya sekarang
·
Perawat merasa bingung dan dilema dihadapkan pada dua
pilihan dimana dia harus memenuhi permintaan keluarga, tapi di sisi lain dia
juga harus memenuhi haknya pasien untuk memperoleh informasi tentang hasil
pemeriksaan atau kondisinya.
2.
Mendiagnosa
Masalah Etik Moral
Berdasarkan
kasus dan analisa situasi diatas maka bisa menimbulkan permasalahan etik moral
jika perawat tersebut tidak memberikan informasi kepada Bapak Tono terkait
dengan penyakitnya karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang
kondisi pasien termasuk penyakitnya.
3.
Membuat
Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif
rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh perawat bersama tim medis yang
lain dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun alternatif
rencana yang bisa dilakukan antara lain :
a. Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa
memberikan informasi hasil pemeriksaan/penyakit Bapak Tono saat itu juga,
tetapi memilih waktu yang tepat ketika kondisi pasien dan situasinya mendukung.
Hal ini bertujuan supaya pak Tono tidak panik yang berlebihan ketika
mendapatkan informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan
pendekatan-pendekatan oleh perawat. Selain itu untuk alternatif rencana ini
diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang kuat dari keluarga.
Keluarga harus tetap menemani pak Tono tanpa ada sedikitpun perilaku dari
keluarga yang menunjukkan perilaku menghindar dari pak Tono. Dengan demikian
diharapkan secara perlahan, pak Tono akan merasa nyaman dengan support yang ada
sehingga perawat dan tim medis akan menginformasikan kondisi yang sebenarnya.
Ketika
jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu pak Tono tentang
kondisinya dan ternyata pak Tono
menanyakan kondisinya ulang, maka perawat tersebut bisa menjelaskan bahwa hasil
pemeriksaannya masih dalam proses tim medis.
Alternatif
ini tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera memberikan informasi
yang dibutuhkan bapak ini dan tidak jujur saat itu walaupun pada akhirnya
perawat tersebut akan menginformasikan yang sebenarnya jika situasinya sudah tepat.
Ketidakjujuran merupakan suatu bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.
b. Perawat akan melakukan tanggung
jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien terutama hak pak Tono
untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil pemeriksaan sudah ada dan
sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan langsung menginformasikan
kondisi bapak Tono tersebut atas seijin dokter. Ini dilakukan juga merujuk pada
Truth Telling of Complience dan Emergency Truth Telling.
Alternatif
ini bertujuan supaya pak Tono merasa dihargai dan dihormati haknya sebagai
pasien serta perawat tetap tidak melanggar etika keperawatan. Hal ini juga
dapat berdampak pada psikologisnya dan proses penyembuhannya. Misalnya ketika Pak
Tono secara lambat laun mengetahui penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota
keluarga yang membocorkan informasi, maka pak Tono akan beranggapan bahwa tim
medis terutama perawat dan keluarganya sendiri berbohong kepadanya. Dia bisa
beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau berpikiran bahwa perawat dan
keluarganya merahasiakannya karena orang dengan HIV/AIDS merupakan “aib” yang dapat mempermalukan
keluarga dan Rumah Sakit. Kondisi seperti inilah yang mengguncangkan psikis pak
Tono nantinya yang akhirnya bisa memperburuk keadaan pak Tono sendiri. Sehingga
pemberian informasi secara langsung dan jujur kepada pak Tono perlu dilakukan
untuk menghindari hal tersebut.
Kendala-kendala yang mungkin timbul :
1)
Keluarga
tetap tidak setuju untuk memberikan informasi tersebut.
Sebenarnya maksud dari keluarga
tersebut adalah benar karena tidak ingin Pak Tono frustasi dengan kondisinya.
Tetapi seperti yang diceritakan diatas bahwa ketika Pak Tono tahu dengan
sendirinya justru akan mengguncang psikisnya dengan anggapan-anggapan yang
bersifat emosional yang bisa memperburuk kondisinya. Perawat tersebut harus
mendekati keluarga Pak Tono dan menjelaskan tentang dampak-dampaknya jika tidak
menginformasikan hal yang sebenarnya. Jika keluarga tersebut tetap tidak
mengijinkan, maka perawat dan tim medis lain bisa menegaskan bahwa mereka tidak
akan bertanggung jawab atas dampak yang terjadi nantinya. Selain itu sesuai
dengan Kepmenkes 1239/2001 yang mengatakan bahwa perawat berhak menolak pihak
lain yang memberikan permintaan yang bertentangan dengan kode etik dan profesi
keperawatan.
2)
Keluarga
telah mengijinkan tetapi pasien memberikan penolakan dengan informasi
yang diberikan perawat.
Perawat harus tetap melakukan
pendekatan-pendekatan secara psikis untuk memotivasi pasien. Perawat juga
meminta keluarga untuk tetap memberikan support sistemnya dan tidak menunjukkan
perilaku mengucilkan pasien tersebut. Hal ini perlu proses adaptasi sehingga
lama kelamaan pasien diharapkan dapat menerima kondisinya dan mempunyai
semangat untuk sembuh.
4.
Melaksanakan
Rencana
Alternatif-alternatif
rencana tersebut harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan tim medis yang
terlibat supaya tidak melanggar kode etik keperawatan. Sehingga bisa diputuskan
mana alternatif yang akan diambil. Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan
dilema etik harus berdasar pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk
membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau
diizinkan dalam situasi tertentu ( John Stone, 1989 ), yang meliputi :
a.
Autonomy / Otonomi
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien
dan keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju
maka perawat harus mengutamakan hak pasien tersebut untuk mendapatkan informasi
tentang kondisinya.
b.
Benefesience / Kemurahan
Hati
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan
yang baik dan tidak merugikan pasien. Sehingga perawat bisa memilih diantara 2
alternatif diatas mana yang paling baik dan tepat.
c.
Justice / Keadilan
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil
berarti pasien mendapatkan haknya yaitu memperoleh informasi tentang
penyakitnya secara jelas sesuai dengan konteksnya/kondisinya.
d.
Nonmaleficience / Tidak
merugikan
Keputusan yang dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian
pada pasien baik secara fisik ataupun psikis yang kronis nantinya.
e.
Veracity / Kejujuran
Perawat harus bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi pasien
tentang penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab
perawat untuk memberikan informasi yang dibutuhkan pasien secara benar dan
jujur sehingga pasien akan merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
f.
Fedelity / Menepati
Janji
Perawat harus menepati janji yang sudah disepakati dengan pasien sebelum
dilakukan pemeriksaan yang mengatakan bahwa perawat bersedia akan menginformasikan
hasil pemeriksaan jika hasil pemeriksaannya sudah selesai. Janji tersebut harus
tetap dipenuhi walaupun hasil pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena
ini mempengaruhi tingkat kepercayaan pasien terhadap perawat tersebut nantinya.
g.
Confidentiality /
Kerahasiaan
Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu
menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan segala
sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.
Berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip moral, keputusan yang bisa diambil dari dua
alternatif di atas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara langsung
memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan selesai
dan didiskusikan dengan semua yang terlibat. Mengingat alternatif ini akan
membuat pasien lebih dihargai dan dipenuhi haknya sebagai pasien walaupun kedua
alternatif tersebut memiliki kelemahan masing-masing. Hasil keputusan tersebut
kemudian dilaksanakan sesuai rencana dengan pendekatan-pendekatan dan caring
serta komunikasi terapeutik.
5.
Mengevaluasi
Hasil
Alternatif
yang dilaksanakan kemudian dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana bapak Tono
beradaptasi tentang informasi yang sudah diberikan. Jika pak Tono masih melakukan
penolakan terhadap kenyataan sehubungan dengan informasi yang telah
diterimanya, maka pendekatan-pendekatan tetap terus dilakukan dan support tetap
terus diberikan yang pada intinya membuat pasien merasa ditemani, dihargai dan
disayangi tanpa ada rasa dikucilkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam
upaya mendorong kemajuan profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai
oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka perawat harus memanfaatkan
nilai-nilai keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang
kuat dalam mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian perawat yang
menerima tanggung jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara etis
profesional. Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar dan
melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi
keselamatan pasien, penghormatan terhadap hak-hak pasien, dan akan berdampak
terhadap peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Selain itu dalam
menyelesaikan permasalahan etik atau dilema etik keperawatan harus dilakukan
dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip etik supaya tidak merugikan salah
satu pihak.
3.2
Saran
Pembelajaran
tentang etika dan moral dalam dunia profesi terutama bidang keperawatan harus
ditanamkan kepada mahasiswa sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih
memahami tentang etika keperawatan sehingga akan berbuat atau bertindak sesuai
kode etiknya (kode etik keperawatan).
0 komentar:
Posting Komentar