FARMAKOTERAPI PADA USIA LANJUT
I.
PENDAHULUAN
Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari
sering dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan
pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok
umur tertentu (anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip
dasar dan tujuan terapi pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda.,
tetapi mengingat masing-masing memliki keistimewaankhusus dalam
penatalaksanakannya, maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda
dengan kelompok dewasa.
Pertimbangan
pada usia lanjut, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu
beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan
efek samping, karena adanya perbedaan fungsi organ-organ tubuh, dan lebih
rentannya usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat.
Dalam modul
ini akan dibahas pemakaian obat pada kelompok pasien usia lanjut.
Pertimbangan-pertimbangan pemakaian, faktor-faktor yang mempengaruhi terapi
serta masalah pemakaian obat akan dibahas secara singkat agar dapat memberikan
gambaran umum mengenai masing-masing permasalahan. Selain itu juga akan dibahas
beberapa jenis obat yang sering digunakan pada pasien kelompok usia ini.
II. TUJUAN
Sesudah kuliah dan diskusi, maka mahasiswa
diharapkan:
1. Memahami
masalah-masalah yang berkaitan dengan pemakaian obat pada kelompok khusus:
yaitu pasien usia lanjut.
2. Memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada usia lanjut.
3. Mampu
menerapkan dan membiasakan diri dengan proses terapi pada usia lanjut dengan
mempertimbangkan secara seksama faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan.
PEMAKAIAN OBAT PADA KELOMPOK KHUSUS:
USIA LANJUT
I.
PENDAHULUAN
Salah satu kelompok umur yang sering luput dari
pertimbangan-pertimbangan khusus dalam pemakaian obat adalah kelompok usia
lanjut. Hal ini dapat dimengerti mengingat usia lanjut secara fisiologis
umumnya dianggap sama dengan kelompok umur dewasa. Namun sebenarnya, pada
periode tertentu telah terjadi berbagai penurunan fungsi berbagai organ tubuh.
Penurunan fungsi bisa disebabkan karena proses menua, maupun perubahan-perubahan
lain yang secara fisik kadang tidak terdeteksi. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai batasan usia lanjut, namun pada umumnya para peneliti mengambil batas
65 tahun. Yang perlu mendapat perhatian adalah, bahwa ternyata pada pasien usia
lanjut, umumnya dijumpai lebih dari satu jenis penyakit, satu atau lebih di
antaranya bersifat kronis, sementara penyakit lain yang akut, jika tidak
ditangani dengan baik dapat memperburuk kondisi penderita.
Populasi kelompok usia lanjut sangat bervariasi di
bebagai negara, namun umumnya kurang dari 15% jumlah total penduduk. Walaupun
jumlahnya relatif kecil, pemakaian obat pada usia lanjut dapat menjadi masalah
antara lain karena:
- Kelompok
usia lanjut mengkonsumsi 25% sampai 30% dari total obat yang digunakan di
pusat-pusat pelayanan kesehatan.
- Praktek
terapi polifarmasi sangat umum dijumpai pada pasien usia lanjut, oleh karena
umumnya menderita lebih dari satu macam penyakit.
-
Penelitian-penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa kelompok usia
lanjut sangat rentan terhadap risiko efek samping obat. Risiko terjadinya efek
samping meningkat dengan bertambahnya jenis obat yang diberikan.
Dari aspek penderita, faktor-faktor seperti
penurunan aktivitas/fungsi organ, derajat penyakit, penurunan kemampuan untuk
mengurus diri sendiri, menurunnya masukan cairan dan makanan, serta kemungkinan
menderita lebih dari satu macam penyakit, sering mempersulit proses pengobatan
secara opitmal.
Penguasaan
dokter terhadap aspek-aspek klinis serta prinsip penggunaan obat untuk usia
lanjut dengan demikian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas pengobatan.
II.
PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA USIA LANJUT YANG BERKAITAN DENGAN PEMAKAIAN
OBAT
II.1. Perubahan farmakokinetik
Telah terbukti bahwa proses menua akan menyebabkan
penurunan fungsi organ, baik sebagai akibat proses degenerasi yang secara
ilmiah akan dialami oleh setiap orang, maupun akibat penyakit-penyakit yang
diderita sebelumnya. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa kecepatan dan
derajat absorpsi, metabolisme, maupun ekskresi obat berubah pada usia lanjut.
II.1.1. Absorpsi
Perubahan dalam hal absorpsi obat pada usia lanjut
belum diketahui secara jelas, tetapi tampaknya tidak berubah untuk sebagian
besar obat. Keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi absorpsi ini antara lain
perubahan kebiasaan makan, tingginya konsumsi obat-obat non resep (misalnya
antasida, laksansia) dan lebih lambatnya kecepatan pengosongan lambung.
II.1.2. Distribusi
Selain oleh sifat fisiko-kimiawi molekul obat,
distribusi ditentukan pula oleh komposisi tubuh, ikatan protein plasma dan
aliran darah organ. Dengn bertambahnya usia, prosentase air total dan masa
tubuh yang tidak mengandung lemak (lean body mass) menjadi lebih sedikit. Obat
yang mempunyai sifat lipofili yang kecil, misalnya digoksin dan propranolol,
menjadi lebih tinggi kadarnya dalam darah, walaupun pada dosis yang lazim untuk
dewasa. Untuk obat yang mempunyai sifat lipofilik yang besar, misalnya
benzodiazepin, klordiazepoksid, peningkatan komposisi lemak menyebabkan
menurunnya kadar obat dalam darah.
Komposisi protein total pada usia lanjut praktis
tidak berubah, tetapi biasanya terjadi perubahan rasio albumin globulin.
Penurunan albumin secara mencolok pada usia lanjut
umumnya disebabkan oleh menurunnya aktivitas fisik. Tetapi dapat juga memberi
petunjuk beratnya penyakit sistemik yang diderita, seperti miokard infark akut,
penyakit-penyakit inflamasi dan infeksi berat. Sehingga obat-obat yang terutama
terikat pada albumin akan lebih banyak berada dalam bentuk bebas. Dengan kata
lain, kadar obat-obat tersebut akan meningkat dalam plasma. Molekul obat yang
terikat pada albumin adalah yang bersifat asam lemah.
II.1.3. Metabolisme
Hepar berperan penting dalam metabolisme obat, tidak
hanya mengaktifkan obat ataupun mengakhiri aksi obat tetapi juga membantu
terbentuknya metabolit terionisasi yang lebih polar yang memungkinkan
berlangsungnya mekanisme ekskresi ginjal. Kapasitas hepar untuk memetabolisme
obat tidak terbukti berubah dengan bertambahnya umur, tetapi jelas terdapat penurunan
aliran darah hepar yang tampaknya sangat mempengaruhi kemampuan metabolisme
obat.
Pada usia lanjut terjadi pula penurunan kemampuan
hepar dalam proses penyembuhan penyakit, misalnya oleh karena virus hepatitis
atau alkohol. Oleh sebab itu riwayat penyakit hepar terakhir seorang lanjut
usia sangat perlu dipetimbangkan dalam pemberian obat yang terutama
dimetabolisme di hepar. Sementara itu beberapa penyakit yang sering pula
terjadi pada usia lanjut seperti misalnya kegagalan jantung kongestif, secara
menyolok dapat mengubah kemampuan hepar untuk memetabolisme obat dan dapat pula
menurunkan aliran darah hepar.
II.1.4. Ekskresi ginjal
Ginjal merupakan tempat ekskresi sebagian besar
obat, baik dalam bentuk aktif maupun hasil metabolitnya. Seperti halnya dengan
organ-organ yang lain, ginjal akan mengalami perubahan fisiologis dan anatomis
dengan bertambahnya umur. Dengan menurunnya kapasitas fungsi ginjal secara
ilmiah karena usia lanjut, maka eliminasi sebagian besar obat juga akan
terpengaruh. Obat-obat yang dimetabolisme kebentuk aktif, seperti: metildopa,
triamteren, spironolakton, oksifenbutazon, levodopa, dan acetoheksamid mungkin
akan terakumulasi karena memburuknya fungsi ginjal pada usia lanjut. Sementara
itu juga terdapat penurunan klirens yang konsisten dengan bertambahnya umur.
Pada keadaan ini pengukuran klirens kreatinin kadang perlu dibuat, sebelum
pemberian obat, terutama jika ada kecurigaan adanya kelainan ginjal atau
gangguan metabolisme air dan garam, sepertinya misalnya dehidrasi berat. Salah
satu akibat dari turunnya klirens adalah terjadi pemanjangan waktu paruh
beberapa obat dan kemungkinan tertumpuknya obat hingga mencapai kadar toksik,
bila dosis dan frekuensi pemberian tidak diturunkan. Sebagai contoh antara lain
amioglikosida, litium, digoksin, prokainamida, hipoglikemik oral dan simetidin.
II.2. Perubahan farmakodinamik
Pasien-pasien usia lanjut relatif lebih sensitif
terhadap aksi beberapa obat dibanding kelompok usia muda. Hal ini memberi
petunjuk adanya perubahan interaksi farmakodinamika obat terhadap reseptor yang
nampaknya merupakan hasil perubahan farmakokinetika atau hilangnya respons
homeostatis. Mekanisme pengontrol homeostatis tertentu tampaknya juga mulai
kehilangan fungsi pada usia lanjut, sehingga pola atau intensitas respons
terhadap obat juga berubah. Sebagai contoh tekanan darah rata-rata pada usia
lanjut relatif lebih tinggi, tetapi sementara itu insidensi hipotensi
ortostatik juga meningkat secara menyolok. Demikian pula mekanisme pengaturan
suhu juga memburuk dan hipotermia kurang ditoleransi secara baik pada usia
lanjut.
Berbagai penelitian klinik menunjukkan bahwa usia
lanjut ternyata lebih sensitif terhadap analgetika, alkaloida, opium, beberapa
sedatif dan tranquilizer, serta obat antiparkinson. Sayangnya, obat-obat
tersebut justru sering diresepkan untuk kelompok usia ini.
III. EFEK
SAMPING OBAT PADA USIA LANJUT
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara jumlah obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat.
Artinya, makin banyak jenis obat yang diresepkan pada individu-individu usia
lanjut, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya efek samping. Secara
epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami efek samping setelah
pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai 100% jika jumlah obat
yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek
samping obat pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa.
Obat-obat yang sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain
analgetika, antihipertensi, antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat
gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara lain
hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi.
Tingginya
angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan
peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh pasien.
a. Kesalahan
peresepan
Kesalahan peresepan sering kali terjadi akibat
dokter kurang memahami adanya perubahan farmakokinetika/farmakodinamika karena
usia lanjut. Sebagai contoh adalah simetidin yang acap kali diberikan pada
kelompok usia ini, ternyata memberi dampak efek samping yang cukup sering
(misalnya halusinasi dan reaksi psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal.
Obat ini juga menghambat metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin
dan beta blocker. Sehingga pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu
melakukan penetapan dosis yang sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang kadang
fatal karena meningkatnya kadar obat dalam darah secara mendadak.
b. Kesalahan
pasien
Secara konsisten, kelompok usia lanjut banyak
mengkonsumsi obat-obat yang dijual bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obat
OTC pada penderita usia lanjut bukannya tidak memberi resiko, mengingat
kandungan zat-zat aktif dalam satu obat OTC kadang-kadang belum jelas efek
farmakologiknya atau malah bersifat membahayakan. Sebagai contoh adalah
beberapa antihistamin yang mempunyai efek sedasi, yang jika diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan memberi efek samping yang serius.
Demikian pula obat-obat dengan kandungan zat yang mempunyai aksi antimuskarinik
akan menyebabkan retensi urin (pada penderita laki-laki) atau glaukoma, yang
penanganannya akan jauh lebih sulit dibanding penyakitnya semula.
c.
Ketidak-jelasan informasi pengobatan
Pasien-pasien usia lanjut sering pula menjadi korban
dari tidak jelasnya informasi pengobatan dan beragamnya obat yang diberikan
oleh dokter. Keadaan ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang
bersifat hilang timbul (sering kambuh). Kesalahan umumnya berupa salah minum
obat (karena banyaknya jenis obat yang diresepkan pada suatu saat), atau berupa
ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan.
Kelompok usia ini tidak jarang pula memanfaatkan
obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak sengaja, karena ketidaktahuan ataupun
ketidakjelasan informasi.
Dengan
demikan, pemakaian obat secara bijaksana pada penderita-penderita usia lanjut
akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Namun
demikian, hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien antara lain :
- Meskipun
secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%, tetapi peresepan pada usia
ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari seluruh peresepan.
- Pasien
sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan berapa lama
obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik yang optimal. Untuk
antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom memberi
tanda untuk menghentikan pemakaian obat.
- Pada
penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita artritis,
jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan sendok.
- Untuk
pasien usia lanjut dengan katarak atau gangguan visual karena degenerasi
makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah dibaca.
IV. OBAT-OBAT
YANG SERING DIRESEPKAN PADA USIA LANJUT DAN PERTIMBANGAN PEMAKAIAN
IV.1. Obat-obat sistem saraf pusat
Sedativa-hipnotika:
Mengingat sering diresepkannya obat-obat golongan
sedativa-hipnotika pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini
yang diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi.
Pasien merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang hari),
sempoyongan, kekakuan dalam bicara dan kebingungan beberapa waktu sesudah minum
obat. Sebagai contoh, waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan
barbiturat meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin
kurang begitu terpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati
pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia.
Analgetika:
Dengan menurunnya fungsi respirasi karena
bertambahnya umur, maka kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan
opioid (analgetika-narkotik) juga meningkat. Jika tidak sangat terpaksa dan
indikasi pemakaian tidak terpenuhi, maka pemberian analgetika-narkotik pada
usia lanjutnya hendaknya dihindari
Antidepresansia:
Obat-obat golongan antidepresan trisiklik yang cukup
banyak diresepkan ternyata sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut,
yang antara lain berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi
postural, kekaburan pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung. Jika terpaksa
diberikan, maka sebaiknya dimulai dari dosis terendah, misalnya imipramin 10 mg
pada malam hari. Selain itu diperlukan pula pemantauan yang terus menerus untuk
mencegah kemungkinan efek samping tersebut.
IV.2. Obat-obat kardiovaskuler
Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering
menjadi masalah, tidak saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan
lamanya pemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus
menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang.
Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan garam,
latihan (exercise), dan penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap
faktor-faktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia)
perlu dianjurkan bagi pasien dengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih
adalah alternatif pengobatan, maka hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal
berikut:
- penyakit
lain yang diderita (associated illness)
- obat-obat
yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
- biaya obat
(medication cost), dan
- ketaatan
pasien (patient compliance).
Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika
dengan dosis yang sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi
dengan pemberian suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing
seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan
dehidrasi hendaknya selalu diamati.
Jika
diuretika ternyata kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah obat-obat
antagonis beta-adrenoseptor (=beta bloker). Untuk penderita angina atau
aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat tunggal, tetapi jangan
diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif, bronkhospasmus, dan
penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan beta-1-selektif yang mempunyai waktu
paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga cukup efektif bagi
pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian beta-blocker.
Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan secara hati-hati atas dasar respons
pasien secara individual.
Vasodilator
perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga ditoleransi
dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang seksama terhadap
kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa
peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan
diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat
harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering, maka
dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien.
Obat-obat antiaritmia:
Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir
ini semakin sering dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit
jantung koroner pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti
disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat efek antikholinergiknya yang
antara lain berupa takhikardi, mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan
kebingungan. Pemberian kuinidin dan prokainamid hendaknya mempertimbangkan
dosis dan frekuensi pemberian, karena terjadinya penurunan klirens dan
pemanjangan waktu paruh.
Glikosida jantung:
Digoksin merupakan obat yang diberikan pada
penderita usia lanjut dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung.
Intoksikasi digoksin tidak jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, khususnya jika kepada pasien yang bersangkutan juga diberi diuretika.
Gejala intoksikasi digoksin sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan
penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama jantung yang serius. Meskipun
digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan memberi efek inotropik
yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya untuk kegagalan jantung kronis tanpa
disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh sebab itu, mengingat
kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan efek samping digoksin
sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi lainnya perlu
dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya cukup
efektif sebagian besar penderita.
IV.3. Antibiotika
Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada
usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai
adalah pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi
utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi
eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang
(waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan
netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada
ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya ototoksisitas).
IV.4. Obat-obat antiinflamasi
Obat-obat
golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada usia lanjut,
terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris). Berbagai studi
menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti misalnya
indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami perpanjangan waktu paruh jika
diberikan pada usia lanjut, karena
menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya
kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare,
nyeri abdominal dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia lanjut mengalami
efek samping tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan
pertimbangan yang seksama. Efek samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan
antasida secara bersamaan, tetapi perlu diingat bahwa antasida justru dapat
mengurangi kemampuan absorpsi AINS.
IV.5. Laksansia
Pada usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan
motilitas gastrointestinal, yang biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi.
Pemberian obat-obat laksansia jangka panjang sangat tidak dianjurkan, karena di
samping menimbulkan habituasi juga akan memperlemah motilitas usus. Pemberian
obat-obat ini hendaknya disertai anjuran agar melakukan diet tinggi serat dan
meningkatkan masukan cairan serta jika mungkin dengan latihan fisik (olah
raga).
V. PRINSIP
PENGOBATAN PADA USIA LANJUT
Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia
lanjut hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Riwayat
pemakaian obat
- informasi
mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan, mengingat sebelum datang
ke dokter umumnya penderita sudah melakukan upaya pengobatan sendiri.
- informasi
ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah keluhan/penyakitnya ada kaitan
dengan pemakaian obat (efek samping), serta ada kaitannya dengan pemakaian obat
yang memberi interaksi.
2. Obat
diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat. Sebagai
contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada kecurigaan diagnosis
ke arah dispepsia.
3. Mulai
dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu dilakukan
untuk menghindari kemungkinan intoksikasi, karena penanganan terhadap akibat
intoksikasi obat akan jauh lebih sulit.
4. Hanya
resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi resiko yang
terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat. Jika
terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan cara pemberian yang
bisa dilakukan pada saat yang bersamaan.
0 komentar:
Posting Komentar