BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepribadian
(personality) merupakan salah satu kajian psikologi yang lahir berdasarkan
pemikiran, kajian atau temuan – temuan (hasil praktek penanganan kasus) para
ahli. Objek kajian kepribadian adalah “human behavior”, perilaku
manusia, dan pembahasannya terkait dengan apa , mengapa, dan bagaimana perilaku
tersebut. Kepribadian juga merupakan organisasi yang dinamis dalam diri
individu tentang sistem psikofisik yanag menentukan penyesuainnya yang unik
terhadap lingkungan.
Perkembangan
kepribadian individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya :
faktor hereditas dan faktor lingkungan. Faktor hereditas yang dapat
mempengaruhi kepribadian individu antara lain : bentuk tubuh, cairan tubuh, dan
sifat – sifat yang diturunkan dari orang tua. Sedangkan faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi perkembangan individu antara lain adalah lingkungan rumah,
sekolah, dan kebudayaan masyarakat.Perubahan terjadi umumnya lebih dipemgaruhi
oleh faktor lingkungan daripada faktor fisik.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
teori pembentukan kepribadian yakni teori behaviorisme menurut John B. Watson ?
2. Bagaimanakah
aplikasi teori behaviorisme dalam kehidupan sehari – hari ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Bagi Penulis
1. Memperluas wawasan mengenai teori
pembentukan kepribadian dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.
2.
Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
2.
Bagi Pengajar
1.
Untuk digunakan sebagai referensi.
2.
Sebagai wujud nyata dari evaluasi / materi yang
diberikan.
1.4 Manfaat
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui teori
pembentukan kepribadian yakni teori behaviorisme menurut John B. Watson.
2.
Untuk mengetahui aplikasi
teori behaviorisme dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John
B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur
subyek tunggal psikologi. Penganut aliran ini mempunyai pendirian bahwa : Organisme
dilahirkan tanpa sifat‑sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil
pengalaman; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk
memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi bahwa pengalaman
adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa
elastisnya manusia. la mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan
lingkungan yang relevan.
Hal ini dikatakan behaviorisme
karena Watson hanya tertarik pada perilaku, bukan pada pengalaman sadar.
Perilaku (behaviorisme) menurut Watson tidak lebih rumit dari sekedar
pergerakan otot-otot. Penentangan Watson yang tidak menerima segala hal yang subjektif ke dalam psikologi telah menuntut
dirinya menolak lebih dari sekedar studi tentang kesadaran. Target lain yang ia
tolak adalah motivasi sebagai hal yang terkait dengan insting. Menurut
pandangan Watson, insting terlalu mentalistik sifat-sifatnya.
Ia menegaskan bahwa perilaku, di sisi lain, adalah persoalan mengenai
refleks-refleks yang dikondisikan, yakni mengenai respon-respon yang dipelajari
melalui apa yang dewasa ini disebut pengkondisian klasik. Kita menunjukkan
sosiabilitas atau agresi bukan karena kita terlahir dengan insting untuk itu melainkan kita pembelajaran melakukan hal itu melalui
pengkondisian.
Upaya Watson
menghancurkan teori-teori melebar bukan hanya sampai ke insting melainkan sampai ke ciri-ciri mental lainnya yang dianggap bawaan
manusia. Watson menyangkal bahwa manusia terlahir dengan kemampuan mental atau
watak tertentu. Yang kita warisi hanyalah tubuh kita dan sedikit refleks,
perbedaan dalam hal kemampuan dan kepribadian hanyalah perbedaan perilaku yang dipelajarinya. Secara praktis tidak ada batasan mengenai
akan seperti apa jadinya seseorang jika dikondisikan secara tepat.
Behaviorisme
merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar
sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap
introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan
subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang
tidak tampak). Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang
tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi
tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian
jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalisme. Berarti juga
behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui
adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang
tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme
memandang pula bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa
bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya
dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia
buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia baik. Kaum behavioris
memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah yang sungguh-sungguh objektif. Kaum
behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka, semua peristilahan yang bersifat
subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir
dan emosi, sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif. Dasar
pemikiran Watson yang memfokuskan diri lebih proses mental daripada elemen
kesadaran, fokusnya perilaku nyata dan pengembangan bidang psikologi pada
animal psychology dan child psychology adalah pengaruh dari fungsionalisme.
Meskipun demikian, Watson menunjukkan kritik tajam pada fungsionalisme.
Watson mendefinisikan belajar sebagai
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Karya John
Watson yang paling dikenal adalah “Psychology as the Behaviourist view it”
(1913). Menurut Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu
yang obyektif, oleh karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya
diteliti melalui metode introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi
harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh
karena itu, psikologi harus dibatasi dengan ketat pada penyelidikan -
penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata saja. Meskipun banyak kritik
terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap dianggap
penting, karena melalui dia lah berkembang metode-metode obyektif dalam
psikologi.
Selain Watson
ada beberapa orang
yang dipandang sebagai tokoh behaviorsime,
di antaranya adalah Ivan Pavlov, E.L. Thorndika, B.F.
Skinner, dll. Paradigma
yang dipakai untuk
membangun teori behavioristik
adalah bahwa tingkah laku
manusia itu fungsi
stimulus, artinya determinan
tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi bearada di lingkungan
(Alwisol, 2005 : 7).
Pavlov, Skinner, dan
Watson dalam berbagai
eksperimen mencoba menunjukkan betapa
besarnya pengaruh lingkungan
terhadap tingkah laku. Semua
tingkah laku termasuk
tingkah laku yang
tidak dikehendaki, menurut mereka, diperoleh melalui belajar dari
lingkungan.
2.2 Prinsip
·
Menekankan
respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku. Kondisi adalah
lingkungan external yang hadir di kehidupan. Perilaku muncul sebagai respon
dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
·
Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari
pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari.
Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi
fisik dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan
belajar dari semua itu.
·
Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan
sama, jadi mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku manusia.
·
Obyek psikologi adalah tingkah laku. Semua bentuk
tingkah laku dikembalikan pada reflek.
·
Mementingkan pembentukan kebiasaan.
·
Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri,
bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak. Aspek mental dari
kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene,
harus dihindari.
·
Penganjur utama adalah Watson : overt, observable
behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
·
Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem
ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup
studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak
seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun
fokus pada overt behavior tetap terjadi.
·
Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang
terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
·
Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991)
membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang
lebih belakangan. Terhadap aliran behaviorisme ini, kritik umumnya diarahkan
pada pengingkaran terhadap potensi alami yang dimiliki manusia. Bahkan menurut
pandangan ini, manusia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kemauan dan
kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri.
2.3 Pandangan
Utama John B. Watson
1.
Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R
Psychology). Yang dimaksud dengan stimulus adalah semua obyek di lingkungan,
termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang
dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana
hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt
dan covert, learned dan unlearned.
2.
Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai
penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur
lingkungan sangat penting. Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik,
perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free
will.
3.
Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana
saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari
ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa
Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi
ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama
behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam
derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat
pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap
konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak
reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi
populer.]
4.
Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif,
maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi
adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
5.
Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai
dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak
yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple
reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
6.
Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang
vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang
merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum
utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning
respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah
proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia
(subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak
kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
7.
Pandangannya tentang memory membawanya pada
pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan
dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata
lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah
kebutuhan.
8.
Proses thinking and speech terkait erat. Thinking
adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan
berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih
dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture
lainnya.
9.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya
bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi
adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus
oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada
mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas
dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen
terkontrol.
2.4 Konsep
Behaviorisme dari John B. Watson
·
Teori belajar S-R (stimulus – respon) yang langsung
ini disebut juga dengan koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme
menurut Watson, namun dalam perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal
dengan psikologi behavioristik.
·
Stimulus dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat
diamati, meskipun perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental
itu penting, namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut
sudah terjadi apa belum. Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan perubahan apa
yang akan terjadi pada anak.
·
Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok
behaviorisme ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku
manusia sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah
yang membentuk kepribadian manusia. Behaviorisme tidak bermaksud
mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia tergolong
baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya
dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan
lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar.
·
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya
dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar
dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Respons tertentu akan muncul
dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R
singkatan dari Respons.
·
Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam
keluarga besar behaviorisme memandang manusia sebagai organisme yang
netral-pasif-reaktif terhadap stimuli di sekitar lingkungannya. Orang akan
bereaksi jika diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga jika
stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, akan
berakibat berubahnya perilaku individu. Syarat terjadinya proses belajar dalam
pola hubungan S-R ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan
(stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement).
Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan
dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang
anak merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli
buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk membelinya dengan cara meminta
uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang,
meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat menggebu, ada yang lemah tidak
terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus.
Unsur ini datang dari luar diri individu, dan tentu saja berbeda dengan
dorongan tadi yang datangnya dari dalam. Dalam dunia aplikasi komunikasi
instruksional, rangsangan bisa terjadi, bahkan diupayakan terjadinya yang
ditujukan kepada pihak sasaran agar mereka bereaksi sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam kegiatan mengajar ataupun kuliah, di mana banyak pesertanya
yang tidak tertarik atau mengantuk, maka sang pengajarnya bisa merangsangnya dengan sejumlah
cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah
tertentu yang sedang trendy saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan
sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta dalam belajar. Dari
adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran atau
komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi,
kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang
akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam
dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang
positif, dan ada pula yang negatif. Yang positif disebabkan oleh adanya
ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya
yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila
seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi
rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement).
Unsur ini datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang
merespons. Apabila respons telah benar, maka diberi penguatan agar individu
tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi.
Seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba
dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan bisa
menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak tadi
tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian hari
adalah bisa menjadi trauma untuk mencoreti buku karena takut bentakan. Bahkan
yang lebih dikhawatirkan lagi akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan
buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu penguatan yang salah dari seorang kakak
terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku.
Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak dengan cara membentak
kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain
berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya, “Bagus!, coba
kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”. Dengan cara penguatan
seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis. Itu namanya penguatan
positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak mendapat ranking bagus di
sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah berwisata ke tempat-tempat tertentu
yang menarik, atau setidaknya dipuji oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha
untuk mempertahankan rankingnya tadi pada masa yang akan datang.
·
Watson mengadakan eksperimen‑eksperimen tentang perasaan takut pada anak dengan menggunakan
tikus dan kelinci putih. Watson mengadaakan eksperimen terhadap
Albert, seorang bayi berumur sebelas bulan. Albert adalah seorang bayi yang
gembira dan tidak takut bahkan senang
bermain-main dengan tikus putih
berbulu halus. Dalam
eksperimennya, Watson memulai
proses pembiasaannya dengan
cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert
mendekati dan ingin
memegang tikus putih itu.
Akibatnya, tidak lama
kemudian Albert menjadi takut
terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda putih,
termasuk jaket dan topeng Sinterklas
yang berjenggot putih. Eksperimen Albert dengan tikus putih kesayangannya
bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia,
tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning).
Diambil dari Sechenov (1829 ‑ 1905) dan Pavlov (1849‑ 1936), pelaziman
klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi
(tikus putih) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan ‑ unconditioned
stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response).
Setelah pemasangan ini terjadi berulang‑ulang, stimuli yang netral
melahirkan respons terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral
berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus, dilakukan
pemukulan batangan baja (unconditioned stimulus).Dari hasil percobaannya
dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau
dilatih. Anak percobaan Watson yang mula‑mula tidak takut kepada kelinci dibuat
menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga
tidak menjadi takut lagi kepada kelinci. Menurut teori conditioning, belajar
adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat‑syarat (conditions)
yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu
belajar haruslah kita memberikan syarat‑syarat tertentu. Yang terpenting dalam
belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan‑latihan yang kontinu.
Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara
otomatis. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga
tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan‑latihan
atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat‑syarat/perangsang-perangsang
tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya.
Kelemahan
dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu
hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak
dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita
tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata‑mata tergantung
kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam
memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori
conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang.
Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal‑hal belajar tertentu
saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecakapan-kecakapan)
tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak‑anak kecil.
2.5
Evaluasi
terhadap Teori Watson
Kontribusi
utama Watson bagi perkembangan psikologi adalah penolakannya terhadap pembedaan antara tubuh dan pikiran dan penekanannya pada studi
perilaku objektif. Sama halnya dengan teori-teori lain memusatkan perhatian
pada perilaku objektif, minat yang kuat pada studi-studi hewan,
kecenderungan pada analisis stimulus-respon, dan konsentrasi pada pembelajaran
sebagai psikologi. Hal ini yang menjadikan Watson dari segi tertentu sebagai bapak intelektual. Namun, sistem teori
Watson jauh dari komplet dalam menangani problem-problem mendetail dalam hal
pembelajaran. Dalam membangun psikologi yang objektif, ia agaknya lalai dengan
persoalan yang sistematis yang lengkap dan logis. Semangatnya dalam membebaskan
psikologi dari subjektivisme dan kepercayaan pada kecendrungan bawaan tidak
bisa dibandingkan dengan masalah kekompletan teori.
Watson berpendapat bahwa introspeksi
merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya. Alasannya adalah jika psikologi
dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati dan diukur.
Watson mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari apa yang
dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang
objektif. Watson menolak pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan
mempertahankan pelaku sebagai subjek psikologi. Khususnya perilaku yang
observabel atau yang berpotensi untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada
aktivitas manusia dan hewan.
Teori behavioristik banyak dikritik
karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar
yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang
dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang
diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung
mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau
shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
2.6
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mengakui adanya peran
pewarisan melalui keturunan atau hereditas, di samping pengakuanya yang sudah
atas adanya refleks-refleks bawaan. Ia mengemukakan ada tiga pola reaksi
emosional yang berifat bawaan.Pola-pola reaksi ini lebih kompleks dari pada
refleks pada umumnya. Tiga pola reaksi emosional itu
pada pokoknya adalah takut, marah dan cinta. Ketiganya merujuk pada pola-pola
gerak bukan pada perasaan-perasaan sadar.
Pembelajaran emosi berwujud
pengkondisian ketiga pola respon emocional ini terhadap stimuli baru.Watson
menyatakan bahwa semua perilaku kita cenderung untuk melibatkan seluruh bagian
tubuh. Kita berpikir, kita mungkin
mengetuk-ngetukan kaki ke lantai atau mengerutkan kening kita. Kita mengungkapkan pendapat
dengan menggerakkan tangan atau tersenyum selain dengan kata-kata. Segala hal yang yang kita pikirkan, rasakan, katakan,
atau kerjakan dalam berbagai kadarnya melibatkan aktivitas segenap tubuh. Ini
barangkali yang menjadi doktrin fundamental behaviorisme.
Watson memandang semua
pembelajaran sebagai pengondisian klasik. Kita terlahir dengan koneksi-koneksi
stimulus-respon yang disebut sebagai refleksi. Kita bisa membangun berbagai
koneksi stimulus-respon yang baru melalui proses pengkondisian. Jika sebuah
stimulus baru terjadi berbarengan
dengan stimulus bagi respon refleks, setelah beberapa kali berpasangan seperti
itu maka stimulus yang baru itu sendiri saja akan menghasilkan respon. Proses pengondisian ini, mungkin setiap respon dalam perbendaharaan
refleks bawaan untuk muncul ketika ada stimulus baru selain yang semula memunculkannya. Hal inilah yang menurut watson
merupakan cara kita belajar merespon situasi-situasi baru.
Bagaimanapun juga, pengkondisian
semacam itu hanya bagian dari proses pembelajaran. Kita bukan hanya harus belajar merespon situasi-situasi baru, melainkan
kita juga harus mempelajari respon-respon itu. Pembentukan rangkaian semacam ini dimungkinkan karena masing-masing respon
menghasilkan sensasi otot yang menjadi stimuli bagi respon berikutnya. Dengan
demikian perilaku baru yang kompleks diperoleh melalui kombinasi berurutan dari
refleks-refleks yang sederhana.
Watson juga mengemukakan bentuk
pembelajaran melalui dua prinsip yaitu frekuensi dan resensi. Prinsip frekuensi
menyatakan semakin sering kita melakukan sesuatu respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon
tersebut sebagai stimulus lagi. Begitu pula, prinsip resensi menyatakan bahwa
semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu,
semakin cenderung kita melakukannya lagi. Apa yang membuat kita bisa belajar hubungan
stimulus dan respon adalah semata-mata karena keduanya berlangsung beriringan.
Karena itulah Watson disebut sebagai seorang teoritas kontiguitas, yakni
bahwa pembelajaran bisa dihasilkan melalui keberiringan belaka, tanpa pengutan.
2.7 Aplikasi
Teori Behaviorisme dalam Kehidupan Sehari – Hari
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga
psikoanalisis. Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja,
yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, teori kaum
behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka
seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar
artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme
tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau
emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan oleh faktor‑faktor lingkungan.
Teori
behaviorisme berpengaruh besar pada arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran sebelum munculnya teori konstruktivisme. Di
Indonesia, teori pembelajaran ini telah dilaksanakan sejak dulu hingga akhir
tahun ’90-an. Teori ini dijadikan dasar penyusunan kurikulum sebelum tahun
2004.
Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasar
pada pembahasan sebelumnya maka pada akhir tulisan ini dapat kami simpulkan
beberapa hal yang dianggap penting, antara lain:
·
Pendekatan Behaviorisme memusatkan pada pendekatan
ilmiah yang objektif sehingga dalam pendekatan ini hal-hal yang berbau
subjektifitas sama sekali diabaikan. Dalam pendekatan yang dilakukan kaum
behaviorisme menekankan pada kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari
lingkungannya.
·
Penganut paham behavior sangat percaya bahwa segala
tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada proses pembelajaran.
Yakni hasil daripada latihan‑latihan atau kebiasaan-kebiasaan bereaksi
terhadap syarat‑syarat atau perangsangan-perangsangan tertentu yang dialaminya
di dalam kehidupannya. Untuk
menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat‑syarat
tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya
latihan‑latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal
belajar yang terjadi secara otomatis. Demikian pula dalam konteks
komunikasi baik komunikasi interpersonal, kelompok maupun komunikasi massa
teori-teori yang dikembangkan tidak lepas dari asumsi dasar bahwa manusia
belajar dari lingkungannya (S-R) dengan demikian teori komunikasi menitik
beratkan pada kondisi dan situasi lingkungan yang mempengaruhi komunikan kita.
·
Teori belajar behavioristik pada
prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun
kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan
konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran
dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku
dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih
sering dilakukan.
·
Manusia pada dasarnya tidak berakhlak
baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah
laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau
pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk
pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
·
Manusia mampu untuk berefleksi atas
tingkah lakunya sendiri,menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta
mengontrol perilakunya sendiri. Manusia mampu untuk memperoleh dan
membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses
belajar. Manusia
dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
adlibae.wordpress.com/2010/03/24/teori-belajar-behavioristik-john-watson-1878-1958/
0 komentar:
Posting Komentar