Jumat, 05 Desember 2014

MAKALAH PSIKOLOGI : “TEORI PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN (BEHAVIORISME) MENURUT JOHN. B WATSON”

Diposting oleh Unknown di 17.08

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kepribadian (personality) merupakan salah satu kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau temuan – temuan (hasil praktek penanganan kasus) para ahli. Objek kajian kepribadian adalah “human behavior”, perilaku manusia, dan pembahasannya terkait dengan apa , mengapa, dan bagaimana perilaku tersebut. Kepribadian juga merupakan organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang sistem psikofisik yanag menentukan penyesuainnya yang unik terhadap lingkungan.
Perkembangan kepribadian individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya : faktor hereditas dan faktor lingkungan. Faktor hereditas yang dapat mempengaruhi kepribadian individu antara lain : bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat – sifat yang diturunkan dari orang tua. Sedangkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan individu antara lain adalah lingkungan rumah, sekolah, dan kebudayaan masyarakat.Perubahan terjadi umumnya lebih dipemgaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor fisik.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah teori pembentukan kepribadian yakni teori behaviorisme menurut John B. Watson ?
2.    Bagaimanakah aplikasi teori behaviorisme dalam kehidupan sehari – hari ?

1.3  Tujuan Pembahasan
1.             Bagi Penulis
1. Memperluas wawasan mengenai teori pembentukan kepribadian dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.
2. Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
2.             Bagi Pengajar
1.         Untuk digunakan sebagai referensi.
2.         Sebagai wujud nyata dari evaluasi / materi yang diberikan.
1.4  Manfaat Pembahasan
1.             Untuk mengetahui teori pembentukan kepribadian yakni teori behaviorisme menurut John B. Watson.
2.             Untuk mengetahui aplikasi teori behaviorisme dalam kehidupan sehari – hari.



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur subyek tunggal psikologi. Penganut aliran ini mempunyai pendirian bahwa  :  Organisme dilahirkan tanpa sifat‑sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa elastisnya manusia. la mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan.
Hal ini dikatakan behaviorisme karena Watson hanya tertarik pada perilaku, bukan pada pengalaman sadar. Perilaku (behaviorisme) menurut Watson tidak lebih rumit dari sekedar pergerakan otot-otot. Penentangan Watson yang tidak menerima segala hal yang subjektif  ke dalam psikologi telah menuntut dirinya menolak lebih dari sekedar studi tentang kesadaran. Target lain yang ia tolak adalah motivasi sebagai hal yang terkait dengan insting. Menurut pandangan Watson, insting terlalu mentalistik sifat-sifatnya. Ia menegaskan bahwa perilaku, di sisi lain, adalah persoalan mengenai refleks-refleks yang dikondisikan, yakni mengenai respon-respon yang dipelajari melalui apa yang dewasa ini disebut pengkondisian klasik. Kita menunjukkan sosiabilitas atau agresi bukan karena kita terlahir dengan insting untuk itu melainkan kita pembelajaran melakukan hal itu melalui pengkondisian.
Upaya Watson menghancurkan teori-teori melebar bukan hanya sampai ke insting melainkan sampai ke ciri-ciri mental lainnya yang dianggap bawaan manusia. Watson menyangkal bahwa manusia terlahir dengan kemampuan mental atau watak tertentu. Yang kita warisi hanyalah tubuh kita dan sedikit refleks, perbedaan dalam hal kemampuan dan kepribadian hanyalah perbedaan perilaku yang dipelajarinya. Secara praktis tidak ada batasan mengenai akan seperti apa jadinya seseorang jika dikondisikan secara tepat.
Behaviorisme merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak). Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian,  Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalisme. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme memandang pula bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah yang sungguh-sungguh objektif. Kaum behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka, semua peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi, sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif. Dasar pemikiran Watson yang memfokuskan diri lebih proses mental daripada elemen kesadaran, fokusnya perilaku nyata dan pengembangan bidang psikologi pada animal psychology dan child psychology adalah pengaruh dari fungsionalisme. Meskipun demikian, Watson menunjukkan kritik tajam pada fungsionalisme.
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Karya John Watson yang paling dikenal adalah “Psychology as the Behaviourist view it” (1913). Menurut Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif, oleh karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya diteliti melalui metode introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus dibatasi dengan ketat pada penyelidikan - penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata saja. Meskipun banyak kritik terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap dianggap penting, karena melalui dia lah berkembang metode-metode obyektif dalam psikologi.
Selain  Watson  ada  beberapa  orang  yang  dipandang sebagai tokoh behaviorsime, di antaranya adalah Ivan Pavlov, E.L. Thorndika,  B.F.  Skinner,  dll.    Paradigma  yang  dipakai  untuk  membangun  teori  behavioristik  adalah bahwa  tingkah  laku  manusia  itu  fungsi  stimulus,  artinya  determinan  tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi bearada di lingkungan (Alwisol, 2005  :  7).    Pavlov,  Skinner,  dan  Watson  dalam  berbagai  eksperimen mencoba  menunjukkan  betapa  besarnya  pengaruh  lingkungan  terhadap tingkah  laku.  Semua  tingkah  laku  termasuk  tingkah  laku  yang  tidak dikehendaki, menurut mereka, diperoleh melalui belajar dari lingkungan.
2.2     Prinsip
·       Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir di kehidupan. Perilaku muncul sebagai respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
·      Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua itu.
·      Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
·      Obyek psikologi adalah tingkah laku. Semua bentuk tingkah laku dikembalikan pada reflek.
·      Mementingkan pembentukan kebiasaan.
·      Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
·      Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
·      Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
·      Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
·      Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan. Terhadap aliran behaviorisme ini, kritik umumnya diarahkan pada pengingkaran terhadap potensi alami yang dimiliki manusia. Bahkan menurut pandangan ini, manusia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri.

2.3       Pandangan Utama John B. Watson

1.      Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dengan stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned.
2.      Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
3.      Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.]
4.      Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
5.      Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
6.      Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
7.      Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
8.      Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
9.      Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.

2.4     Konsep Behaviorisme dari John B. Watson
·         Teori belajar S-R (stimulus – respon) yang langsung ini disebut juga dengan koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme menurut Watson, namun dalam perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal dengan psikologi behavioristik.
·         Stimulus dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat diamati, meskipun perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting, namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut sudah terjadi apa belum. Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada anak.
·         Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia. Behaviorisme tidak bermaksud mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar.
·         Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Respons tertentu akan muncul dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons.
·         Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga besar behaviorisme memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli di sekitar lingkungannya. Orang akan bereaksi jika diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, akan berakibat berubahnya perilaku individu. Syarat terjadinya proses belajar dalam pola hubungan S-R ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement).
Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat menggebu, ada yang lemah tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini datang dari luar diri individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya dari dalam. Dalam dunia aplikasi komunikasi instruksional, rangsangan bisa terjadi, bahkan diupayakan terjadinya yang ditujukan kepada pihak sasaran agar mereka bereaksi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan mengajar ataupun kuliah, di mana banyak pesertanya yang tidak tertarik atau mengantuk, maka sang  pengajarnya bisa merangsangnya dengan sejumlah cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta dalam belajar. Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran atau komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif, dan ada pula yang negatif. Yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar, maka diberi penguatan agar individu tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak tadi tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian hari adalah bisa menjadi trauma untuk mencoreti buku karena takut bentakan. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak dengan cara membentak kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya, “Bagus!, coba kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”. Dengan cara penguatan seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis. Itu namanya penguatan positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak mendapat ranking bagus di sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah berwisata ke tempat-tempat tertentu yang menarik, atau setidaknya dipuji oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha untuk mempertahankan rankingnya tadi pada masa yang akan datang.
·         Watson mengadakan eksperimen‑eksperimen tentang  perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci putih. Watson mengadaakan eksperimen terhadap Albert, seorang bayi berumur sebelas bulan. Albert adalah seorang bayi yang gembira dan tidak takut  bahkan  senang  bermain-main  dengan  tikus putih  berbulu  halus.  Dalam  eksperimennya, Watson memulai  proses  pembiasaannya  dengan  cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali  Albert  mendekati  dan  ingin  memegang  tikus putih  itu.  Akibatnya,  tidak  lama  kemudian  Albert menjadi takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda putih, termasuk  jaket dan topeng Sinterklas yang berjenggot putih. Eksperimen Albert dengan tikus putih kesayangannya bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829 ‑ 1905) dan Pavlov (1849‑ 1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi (tikus putih) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan ‑ unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah pemasangan ini terjadi berulang‑ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus, dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned stimulus).Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Watson yang mula‑mula tidak takut kepada kelinci dibuat menjadi takut kepada kelinci. Ke­mudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak men­jadi takut lagi kepada kelinci. Menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena ada­nya syarat‑syarat (conditions) yang kemudian menimbul­kan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat‑syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan‑latihan yang kontinu. Yang diutama­kan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada conditi­oning. Yakni hasil daripada latihan‑latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat‑syarat/perangsang­-perangsang tertentu yang dialaminya di dalam kehidup­annya.
Kelemahan dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata‑mata ter­gantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentu­kan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubung­kan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal‑hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecakapan-kecakapan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak‑anak kecil.

2.5     Evaluasi terhadap Teori Watson
Kontribusi utama Watson bagi perkembangan psikologi adalah penolakannya terhadap pembedaan antara tubuh dan pikiran dan penekanannya pada studi perilaku objektif. Sama halnya dengan teori-teori lain memusatkan perhatian pada perilaku objektif, minat yang kuat pada studi-studi hewan, kecenderungan pada analisis stimulus-respon, dan konsentrasi pada pembelajaran sebagai psikologi. Hal ini yang menjadikan Watson dari segi tertentu sebagai bapak intelektual. Namun, sistem teori Watson jauh dari komplet dalam menangani problem-problem mendetail dalam hal pembelajaran. Dalam membangun psikologi yang objektif, ia agaknya lalai dengan persoalan yang sistematis yang lengkap dan logis. Semangatnya dalam membebaskan psikologi dari subjektivisme dan kepercayaan pada kecendrungan bawaan tidak bisa dibandingkan dengan masalah kekompletan teori.
Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya. Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang objektif. Watson menolak pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai subjek psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada aktivitas manusia dan hewan.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
2.6     Teori Belajar Menurut Watson
Watson mengakui adanya peran pewarisan melalui keturunan atau hereditas, di samping pengakuanya yang sudah atas adanya refleks-refleks bawaan. Ia mengemukakan ada tiga pola reaksi emosional yang berifat bawaan.Pola-pola reaksi ini lebih kompleks dari pada refleks pada umumnya. Tiga pola reaksi emosional itu pada pokoknya adalah takut, marah dan cinta. Ketiganya merujuk pada pola-pola gerak bukan pada perasaan-perasaan sadar.
Pembelajaran emosi berwujud pengkondisian ketiga pola respon emocional ini terhadap stimuli baru.Watson menyatakan bahwa semua perilaku kita cenderung untuk melibatkan seluruh bagian tubuh. Kita berpikir, kita mungkin mengetuk-ngetukan kaki ke lantai atau mengerutkan kening kita. Kita mengungkapkan pendapat dengan menggerakkan tangan atau tersenyum selain dengan kata-kata. Segala hal yang yang kita pikirkan, rasakan, katakan, atau kerjakan dalam berbagai kadarnya melibatkan aktivitas segenap tubuh. Ini barangkali yang menjadi doktrin fundamental behaviorisme.
Watson memandang semua pembelajaran sebagai pengondisian klasik. Kita terlahir dengan koneksi-koneksi stimulus-respon yang disebut sebagai refleksi. Kita bisa membangun berbagai koneksi stimulus-respon yang baru melalui proses pengkondisian. Jika sebuah stimulus baru terjadi berbarengan dengan stimulus bagi respon refleks, setelah beberapa kali berpasangan seperti itu maka stimulus yang baru itu sendiri saja akan menghasilkan respon. Proses pengondisian ini, mungkin setiap respon dalam perbendaharaan refleks bawaan untuk muncul ketika ada stimulus baru selain yang semula memunculkannya. Hal inilah yang menurut watson merupakan cara kita belajar merespon situasi-situasi baru.
Bagaimanapun juga, pengkondisian semacam itu hanya bagian dari proses pembelajaran. Kita bukan hanya harus belajar merespon situasi-situasi baru, melainkan kita juga harus mempelajari respon-respon itu. Pembentukan rangkaian semacam ini dimungkinkan karena masing-masing respon menghasilkan sensasi otot yang menjadi stimuli bagi respon berikutnya. Dengan demikian perilaku baru yang kompleks diperoleh melalui kombinasi berurutan dari refleks-refleks yang sederhana.
Watson juga mengemukakan bentuk pembelajaran melalui dua prinsip yaitu frekuensi dan resensi. Prinsip frekuensi menyatakan semakin sering kita melakukan sesuatu respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi. Begitu pula, prinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi. Apa yang membuat kita bisa belajar hubungan stimulus dan respon adalah semata-mata karena keduanya berlangsung beriringan. Karena itulah Watson disebut sebagai seorang teoritas kontiguitas, yakni bahwa pembelajaran bisa dihasilkan melalui keberiringan belaka, tanpa pengutan.

2.7     Aplikasi Teori Behaviorisme dalam Kehidupan Sehari – Hari

Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis. Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor‑faktor lingkungan.
Teori behaviorisme berpengaruh besar pada arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran sebelum munculnya teori konstruktivisme. Di Indonesia, teori pembelajaran ini telah dilaksanakan sejak dulu hingga akhir tahun ’90-an. Teori ini dijadikan dasar penyusunan kurikulum sebelum tahun 2004.
Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.








BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Berdasar pada pembahasan sebelumnya maka pada akhir tulisan ini dapat kami simpulkan beberapa hal yang dianggap penting, antara lain:
·           Pendekatan Behaviorisme memusatkan pada pendekatan ilmiah yang objektif sehingga dalam pendekatan ini hal-hal yang berbau subjektifitas sama sekali diabaikan. Dalam pendekatan yang dilakukan kaum behaviorisme menekankan pada kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari lingkungannya.
·           Penganut paham behavior sangat percaya bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada proses pembelajaran. Yakni hasil daripada latihan‑latihan atau kebiasaan­-kebiasaan bereaksi terhadap syarat‑syarat atau perangsang­an-perangsangan tertentu yang dialaminya di dalam kehidup­annya. Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat‑syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan‑latihan yang kontinu. Yang diutama­kan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis. Demikian pula dalam konteks komunikasi baik komunikasi interpersonal, kelompok maupun komunikasi massa teori-teori yang dikembangkan tidak lepas dari asumsi dasar bahwa manusia belajar dari lingkungannya (S-R) dengan demikian teori komunikasi menitik beratkan pada kondisi dan situasi lingkungan yang mempengaruhi komunikan kita.
·           Teori belajar behavioristik pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
·           Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
·           Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri,menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.





DAFTAR PUSTAKA

adlibae.wordpress.com/2010/03/24/teori-belajar-behavioristik-john-watson-1878-1958/

0 komentar:

Posting Komentar

 

SHARE D' MOMENT Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review