BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan
kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup
seseorang. Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu,
keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau
memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi
proses penyakit terminal ? Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani
pasien karena peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan
bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan
biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya
setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka
sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada
keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut
dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang
demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan
persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang
tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi
dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat
berlanjut.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien
dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat
memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat
juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat
berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan
pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat
mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter &
Perry, 2005).
Menjadi seorang
perawat bukanlah tugas
yang mudah. Perawat
terus ditantang oleh perubahan-perubahan yang
ada, baik dari
lingkungan maupun klien. Dari
segi lingkungan, perawat selalu
dipertemukan dengan globalisasi. Sebuah globalisasi sangat
memengaruhi perubahan dunia,
khususnya di bidang kesehatan. Terjadinya
perpindahan penduduk menuntut
perawat agar dapat menyesuaikan diri
dengan perbedaan budaya.
Semakin banyak terjadi perpindahan penduduk,
semakin beragam pula
budaya di suatu negara.
Tuntutan itulah yang memaksa
perawat agar dapat
melakukan asuhan keperawatan
yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat. Lima proses
keperawatan: pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi
selalu berkaitan erat
dengan intervensi
keperawatan. Beda usia,
beda pula intervensi
yang akan digunakan
oleh perawat untuk menyelesaikan
masalah kesehatan klien.
Sepanjang daur kehidupan manusia salah satunya meliputi
lanjut usia yang diteruskan dengan menjelang dan saat kematian.
Klien dalam kondisi terminal
membutuhkan dukungan dari
utama dari keluarga,
seakan proses penyembuhan bukan
lagi merupakan hal
yang penting dilakukan.
Sebenarnya, perawatan menjelang kematian bukanlah asuhan keperawatan
yang sesungguhnya. Isi perawatan tersebut
hanyalah motivasi dan
hal-hal lain yang
bersifat mempersiapkan
kematian klien. Dengan
itu, banyak sekali
tugas perawat dalam memberi intervensi terhadap lansia,
menjelang kematian, dan saat kematian.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian spiritual, etnik, dan culture
dalam keperawatan ?
2.
Apa saja faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan
?
3.
Bagaimanakah konsep kehilangan dan asuhan keperawatan
pasien dengan kasus terminal ?
4.
Apa sajakah tahapan kehilangan ?
5.
Bagaimanakah pengkajian, diagnosa, dan intervensi
pasien pada tahap kehilangan ?
1.3
Tujuan Pembahasan
1.
Dapat memahami pengertian spiritual, etnik, dan culture
dalam keperawatan.
2.
Dapat memahami faktor yang saling berkaitan dalam
keperawatan.
3.
Dapat memahami konsep kehilangan dan asuhan keperawatan
pasien dengan kasus terminal.
4.
Dapat memahami tahapan kehilangan.
5.
Dapat memahami pengkajian, diagnosa, dan intervensi
pasien pada tahap kehilangan.
1.4
Manfaat Pembahasan
1. Bagi
Pembaca
·
Memberikan gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan
mengenai konsep kehilangan dan berduka.
2.
Bagi Penulis
·
Dapat
melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3.
Bagi Pengajar
·
Sebagai referensi dan wujud nyata dari evaluasi atau materi yang diberikan.
BAB II
METODE
PENULISAN
2.1
Library (studi kepustakaan)
Sumber data
pada penulisan makalah ini adalah informasi dari media cetak maupun elektronik.
Untuk media cetak dari buku dan untuk media elektronik dari internet. Untuk
pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan (metode library). Library (studi
kepustakaan) yaitu suatu cara kerja untuk memperoleh data dengan jalan
mempelajari teori- teori, pendapat-pendapat, majalah-majalah, buku-buku ilmiah, surat kabar dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan yang
diteliti. Pendapat-pendapat
tersebut diatas adalah pendapat dari para ilmuwan dan para ahli. Dengan melalui metode library ini akan diperoleh data
sekunder. Setelah data terkumpul, dari data tersebut akan dibahas dalam
lingkup pembahasan dan akan ditarik kesimpulan dari pembahasan tersebut.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Pengertian spiritual, etnik, dan culture
dalam keperawatan
3.1.1 Spiritual dalam keperawatan
Berdasarkan konsep keperawatan,
makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan,
dan sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson mengamati bahwa
perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan dengan seseorang
dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992)
spiritual mencakup hubungan intra, inter, dan transpersonal. Spiritual juga
diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya
dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya
dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).
Para ahli keperawatan menyimpulkan
bahwa spiritual merupakan sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh
manusia. Spiritual juga merupakan aspek yang menyatu dan universal bagi semua
manusia. Setiap orang memiliki dimensi spiritual. Dimensi ini mengintegrasi,
memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia.
3.1.2 Etnik dalam keperawatan
Etnik adalah rasa identitas diri yang berkaitan
dengan kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya.
Seseorang dapat dilahirkan dalam suatu kelompok etnik
tertentu tetapi dapat juga mengadopsi. karakteristik dari kelompok etnik
lainnya.
Karakteristik dari suatu kelompok etnik termasuk
bahasa dan dialek yang sama,status perpindahan,suku bangsa,dan kepercayaan
serta praktik religius.
Masyarakat menggunakan bersama
tradisi,nilai,simbol,literatur,cerita rakyat,musik dan makanan kesukaan.
3.1.3 Culture dalam keperawatan
Budaya menggambarkan sifat non fisik, seperti nilai,
keyakinan,sikap,atau adat-istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
E.B. Tilor,
kebudayaan merupakan suatu yg kompleks, yang didalamnya mengandung
pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral, hukum,adat istiadat,
kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki mayarakat.
Prospek social budaya terhadap
Keperawatan adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang difokuskan
kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan,
meningkatkan perilaku
sehat sesuai dengan latar belakang budaya dan menerapakan pelayanan keperawatan
sesuai dengan latar belakang budaya tanpa merugikan kesehatan atau melanggar
prosedur asuhan keperawatan.
Pengkajian asuhan keperawatan dalam
konteks social budaya sangat diperlukan untuk menjembatani perbedaan
pengetahuan yang dimiliki oleh perawat dengan klien
§ perawat
perlu memahami dan peka tentang beragam etnik,budaya dan spiritual yg memiliki
makna subyektif thd kesehatan, keadaan sakit,asuhan,& praktek penyembuhan
§ Perspektif
etnik,budaya dan spiritual visi dianggap penting bagi perawat & pelayanan
kesehatan profesional lainnya dlm mengantarkan pelayanan kesehatan yg
berkualitas kepada semua kliennya
§ perawat
harus mengerti bagaimana budaya dan keyakinan mereka sendiri kepercayaan rohani
terkait dg keyakinan & budaya klien yg berbeda
3.2
Faktor
yang saling berkaitan dalam keperawatan
a.
Usia
Usia memainkan peran dalam pengenalan dan
reaksi individu terhadap kehilangan. Respon anak beragam sesuai dengan usia,
pengalaman kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal, kepribadian,
persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang mereka miliki
dan yang terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan. Meskipun
anak-anak mungkin tidak memahami konsep kematian karena usia mereka, mereka
tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna kehilangan bagi mereka.
Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat, atau
mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7
pike,1993).
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraian dan kerusakan fisik menyebabkan duka cita lebih mendalam dan mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sebagai suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orang dewasa.
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraian dan kerusakan fisik menyebabkan duka cita lebih mendalam dan mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sebagai suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orang dewasa.
Lansia mengalami kepenumpukan kedukaan akibat
dari banyak perubahan. Lansia sering takut tentang kejadian sekitar kematian
melebihi kematian itu sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi,
kehilangan peran sosial, penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan
determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian
(Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).
b.
Keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya
menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap sedih secara terbuka.
c.
Faktor sosial ekonomi
Apabila yang meninggal
merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang
dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu
kelangsungan hidup.
d.
Pengaruh kultural
Kultur mempengaruhi
manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’ menganggap kesedihan adalah sesuatu
yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak
ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain mengganggap bahwa mengekspresikan
kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras. Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah
aspek cultural yang mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, duka cita, dan
kematian. Latar belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi
pengekspresian berduka. Seseorang mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan
dan makna dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian
klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai pribadi, dan
keyakinan. Secara khas hal ini ditunjukkan dengan respon ”mengapa saya?”.
Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga terjadi. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada di konsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan
Tuhan akan kematian.
e.
Penyebab kematian
Seseorang yang
ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan shock dan tahapan
kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat
kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan
f.
Peran
jenis kelamin
Reaksi
kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial tentang peran pria dan wanita. Dalam
banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada, umumnya lebih sulit bagi pria
dibanding dengan wanita untuk mengespresikan duka cita secara terbuka. Pria dan
wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian tubuh, fungsi, hubungan
interpersonal, dan benda.
g.
Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua berarti kehilangan
masa lalu, kehilangan pasangan berarti kehilangan masa kini dan kehilangan anak
berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung keyakinan bahwa kehilangan
akan menciptakan respon kehilangan yang paling dalam (Saunders, 1992). Reaksi
terhadap kehilangan dipengaruhi oleh kualitas hubungan. Makna hubungan pada
hubungan duka akan mempengaruhi respon duka cita, apakah kehilangan tersebut
akibat kematian, perpisahan atu bercerai. Hubungan yang ditandai dengan
ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan hubungan
yang normal. Salah satu peristiwa
yang paling memyulitkan dalam hidup adalah kehilangan pasangan. Kehilangan
pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi kurang terampil dalam menghadapi
tangung jawab keseluruhan. Kehilangan pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi
pasangan yang ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau untuk
mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau dibentuk bersama.
h.
Sistem
pendukung sosial
Vasibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.
Vasibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.
3.3
Konsep
kehilangan dan asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal
3.3.1
Konsep kehilangan
Menurut Iyus Yosep dalam Buku
Keperawatan Jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda.
Berdasarkan penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan
jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang
berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada).
Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari
pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik secara individu.
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami.
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami.
•
Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang diakibatkan oleh transisi
kehidupan normal untuk pertama kalinya.
•
Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam
merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak orang yang
dicintai atau keduanya. Anak yang mulai belajar berjalan kehilangan citra tubuh
semasa bayinya, wanita yang mengalami menopause kehilangan kemampuan untuk
mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja mungkin akan kehilangan harga
dirinya.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
v BENTUK – BENTUK KEHILANGAN
1. Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
v TIPE KEHILANGAN
1.
Actual Loss
Kehilangan yang dapat
dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang
mengalami kehilangan.
2. Perceived
Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang
tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory
Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
v SIFAT KEHILANGAN
1.
Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara
tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang
lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian
diri akan sulit diterima.
2.
Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat
menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami
keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan
oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan
yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri
mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna
kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima
bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan.
Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan
(mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah
waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, psikologis,
dan sosial.
v LIMA KATEGORI
KEHILANGAN
1. Kehilangan objek
eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan lingkungan
yang telah dikenal.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan orang
terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup.
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup ke dalam empat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup ke dalam empat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.
v TAHAPAN PROSES
KEHILANGAN
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan –
perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya
– marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)–
muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku
konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku
destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.
3.3.2
Asuhan keperawatan pasien dengan kasus
terminal
A. Pengkajian Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi
tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Berisi
tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan penyakit
yang sama
3. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah
anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan klien.
Head
To Toe
Perubahan
fisik saat kematian mendekat :
a. Pasien kurang rensponsif.
b. Fungsi tubuh melamban.
c. Pasien berkemih dan defekasi secara
tidak sengaja.
d. Rahang cenderung jatuh.
e. Pernafasan tidak teratur dan dangkal.
f. Sirkulasi melambat dan ektremitas
dingin, nadi cepat dan
melemah.
g. Kulit pucat
h. Mata membelalak dan tidak ada respon
terhadap cahaya.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Ansietas/ ketakutan individu, keluarga yang berhubungan
diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak
dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2.
Berduka yang behubungan dengan penyakit
terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan
menarik diri dari orang lain
3.
Perubahan proses keluarga yang
berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan
lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat perawatan )
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I
Ansietas / ketakutan (
individu , keluarga ) yang berhubungan denga situasi yang tak dikenal. Sifat
kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negative pada
gaya hidup.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
1.
Berikan kepastian dan kenyamanan.
2.
Tunjukkan perasaan tentang pemahaman
dan empati, jangan menghindari pertanyaan.
3.
Dorong klien untuk mengungkapkan setiap
ketakutan permasalahan yang berhubungan dengan pengobatannya.
4.
Identifikasi dan dukung mekanisme
koping efektif.
|
Klien yang cemas mempunyai penyempitan lapang persepsi dengan penurunan
kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah.
Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan
nyeri fisik.
|
2
|
Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya
rendah atau sedang.
|
Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atau parah tidak menyerap pelajaran.
|
3
|
Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
|
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
|
4
|
Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif.
|
Menghargai klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping
positif yang akan datang
|
Diagnosa II
Berduka yang
berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan dihadapi penurunan fungsi,
perubahan konsep diri dan menark diri dari orang lain.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka , dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
|
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak
berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya.
Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima
dan mengatasi situasi dan respon mereka terhadap situasi tersebut.
|
2
|
Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang
memberikan keberhasilan pada masa lalu
|
Stategi koping positif membantu penerimaan dan pemecahan masalah
|
3
|
Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang
positif
|
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi
|
4
|
Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab
semua pertanyaan dengan jujur
|
Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai
kematian yang akan terjadi di terima
|
5
|
Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan
ketidak nyamanan dan dukungan
|
Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai
tindakan keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat
diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik (skoruka dan bonet
1982 )
|
Diagnosa III
Perubahan proses
keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan takut akan hasil ( kematian
) dan lingkungannya penuh stres (tempat perawatan )
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati
|
Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian dan peduli dapat
membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran
|
2
|
Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan
perasaan, ketakutan dan kekawatiran.
|
Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengintifikasi ketakutan dan
kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk mengatasinya
|
3
|
Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU
|
Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas yang berkaitan dengan ketidak
takutan
|
4
|
Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan
dan berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien
|
|
5
|
Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan
perawan
|
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi
keluarga berkelanjutan
|
6
|
Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
|
Keluarga denagan masalah-masalah seperti kebutuhan financial , koping
yang tidak berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber
tambahan untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga
|
Diagnosa Keperawatan
1. Merasa kehilangan harapan hidup dan
terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan kondisi sakit terminal.
2. Kehilangan harga diri berhubungan
dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3. Depresi berhubungan dengan kesedihan
tentang dirinya dalam keadaan terminal
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan
sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien selalu bertanya tentang
penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas
5. Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan klien yang
selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang
dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap
orang lain maupun perawat.
6. Distress spiritual berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam
keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam
melakukan ibadah sholat.
7. Inefektif koping keluarga berhubungan
dengan kehilangan
Rencana Keperawatan
1.Merasa kehilangan
harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan kondisi
sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang
menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap
pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat
bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya
sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi
dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien.
2.Kehilangan harga diri
berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
Tujuan :
Mempertahankan rasa
aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
a) Gali perasaan klien sehubungan dengan
kehilangan.
b) Perhatikan penampilan klien saat
bertemu dengan orang lain.
c) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien
antara lain hygiene, eliminasi.
d) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk
saling berkunjung dan melakukan hal – hal yang disenangi klien.
e) Beri klien support dan biarkan klien
memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam hal perawatan.
3. Depresi berhubungan dengan
kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
Tujuan :
Mengurangi rasa takut,
depresi dan kesepian
Intervensi :
a) Bantu klien untuk mengungkapkan
perasaan sedih, marah dan lain lain.
b) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa
perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c) Bantu klien untuk mengidentifikasi
sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga ataupun keyakinan klien.
d) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk
mencerminkan arti penderitaan, kematian dan sekarat.
e) Gunakan sentuhan ketika klien
menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi, yakinkan bahwa perawat
selalu siap membantu.
f) Lakukan hubungan interpersonal yang
baik dan berkomunikasi tentag pengalaman – pengalaman klien yang menyenangkan.
4. Cemas
berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut
muka klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi
dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang
penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada
klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan tetap mengikuti dan mematuhi
petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap
berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang
memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan
teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan
teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai
perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan
dan pengobatan.
5. Koping individu
tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan
klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas
penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman,
marah terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a) Gali koping individu yang positif yang
pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap
manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan itu telah ditentukan oleh
Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap
berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap
mendampingi klien dan mendengarkan segala keluhan dengan rasa empati dan penuh
perhatian.
e) Hindari barang – barang yang mungkin
dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak
kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa
untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan
perasaannya.
6.Distress spiritual
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan alternatif
ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual
dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai
ibadah sholat.
b) Ajarkan pada klien cara sholat dalam
keadaan berbaring.
c) Ajarkan tata cara tayamum.
d) Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e) Datangkan seorang ahli agama.
7.Inefektif koping
keluarga berhubungan dengan kehilangan
Tujuan :
Membantu individu
menangani kesedihan secara efektif
Intervensi :
a) Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan
perasaan – perasaan antara lain : sedih, marah dan lain – lain.
b) Beri pengertian dan klarifikasi
terhadap perasaan – perasaan anggota keluarga.
c) Dukung keluarga untuk tetap melakukan
aktivitas sehari – hari yang dapat dilakukan.
d) Bantu keluarga agar mempunyai
pengaharapan yang realistis.
e) Berikan rasa empati dan rasa aman dan
tenteram dengan cara duduk disamping keluarga, mendengarkan keluhan dengan
tetap menghormati klien serta keluarga.
f) Berikan kesempatan pada keluarga untuk
melakukan upacara keagamaan menjelang saat – saat kematian.
3.4
Tahapan kehilangan
1.
Fase Berduka Menurut Angel
a.
Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.
Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b.
Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseorang mulai merasakan kehilangan secara
nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c.
Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,
karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum.
Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa
lalu terhadap almarhum.
e.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari
harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang
sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2.
Tahapan
Kehilangan menurut Kubler Ross ( 1969 ) :
1.
Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Implikasi Keperawatan: Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan perilaku atau kebutuhan untuk mengatasi, kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien perawatan dasar seperti makanan, minuman, oksigensi, kenyamanan, dan keamanan.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Implikasi Keperawatan: Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan perilaku atau kebutuhan untuk mengatasi, kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien perawatan dasar seperti makanan, minuman, oksigensi, kenyamanan, dan keamanan.
2.
Anger ( Marah )
Sadar kenyataan kehilangan. Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Implikasi Keperawatan: Berikan pedoman antisipasi tentang perasaan dan intensitasnya yang mereka alami sebagai bagian dari kedukaan. Fokuskan terutama poada kemarahan. Jangan mengambil hati kemarahan yang dilontarkan klien. Penuhi kebutuhan yang menyebabkan respons marah. Berikan dorongan kepada klien dan keluarganya untuk mengekspresikan perasaan mereka.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”. Implikasi Keperawatan: Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
Implikasi Keperawatan: Berikan dukungan dan empati. Dukung menangis dengan memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian. Mendengarkan dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri dan rujuk ke tenaga profesional kesehatan mental jika di perlukan.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.
Sadar kenyataan kehilangan. Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Implikasi Keperawatan: Berikan pedoman antisipasi tentang perasaan dan intensitasnya yang mereka alami sebagai bagian dari kedukaan. Fokuskan terutama poada kemarahan. Jangan mengambil hati kemarahan yang dilontarkan klien. Penuhi kebutuhan yang menyebabkan respons marah. Berikan dorongan kepada klien dan keluarganya untuk mengekspresikan perasaan mereka.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”. Implikasi Keperawatan: Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
Implikasi Keperawatan: Berikan dukungan dan empati. Dukung menangis dengan memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian. Mendengarkan dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri dan rujuk ke tenaga profesional kesehatan mental jika di perlukan.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.
3.
Fase
berduka menurut Rando :
1.
Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan.
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan.
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.
4.
Fase
berduka menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) :
1.
Repudiation
( Penolakan )
2.
Recognition
( Pengenalan )
3.
Reconciliation
(Pemulihan / reorganisasi )
5.
Tahap berduka menurut PARKES (1986) dan PARKES ET AL (1991)
1. Mati rasa dan meningkari.
Orang yang baru saja mengalami kehilangan akan merasa tidak
nyata, penghentian waktu, segera setelah kematian orang yang penting dalam
kehidupan mereka. Perasaan ini digambarkan sebagai “mati rasa”. Ada
kecenderungan untuk mengingkari kejadian dan keyakinan bahwa semuanya hanyalah
mimpi buruk. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai berminggu-minggu.
2. Kerinduan atau Pining
Fase ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk
menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Hal ini dinyatakan dalam mimpi
orang yang kehilangan, dan orang yang sering kalil menyatakan meluhat orang
yang sudah meninggal dalam keramaian.
3. Putus asa dan depresi
Jika orang yang kehilangan akhirnya menyadari kenyataan
tentang kematian, ada perasaan putus asa yang hebat dan kadang terjadi depresi.
Periode ini adalah saat individu mengalami disorganisasi dalam batas tertentu
dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang dimasa lalu dilakukan
dengan sedikit kesulitan.
4. Penyembuhan dan reorganiosasi.
Pada titik tertentu kebanyakan individu yang kehilangan
menyadari bahwa hidup mereka harus berlanjut dan mereka harus mencari makna
baru dari keberadaan mereka.
Tidak semua orang
dapat melampaui tahap - tahap tersebut dengan baik, dapat saja terjadi,
ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi lain.
Jangka waktu periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan suatu
prognosa penyakit terminal memang berat bagi setiap individu. Ini merupakan
suatu ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada individu tersebut. Dari
ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas pada individu, cemas dapat
dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang cepat
mengusahakan koping. Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat
digambarkan dalam suatu rentang yaitu harapan, ketidakpastian dan putus asa.
1.
Harapan
Mempunyai
respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya harapan dapat
mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping yang adekuat.
2.
Ketidakpastian
Penyakit
terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasa tidak
aman dan putus asa, meskipun secara medis sudah dapat dipastikan akhirnya
prognosa dapat mempercepat klien masuk dalam maladaptif.
3.
Putus Asa
Biasanya ditandai
dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat berhasil untuk
mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien merusak atau
melukai diri sendiri.
3.5
Pengkajian, diagnosa, dan intervensi
pasien pada tahap kehilangan
3.5.1
Pengkajian
Pengkajian
pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu
suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan
aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial lainnya.
Salah satu metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data psikososial pada
klien terminal yaitu dengan menggunakan metode “PERSON”.
P : Personal Strenght
Yaitu
: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatannya atau
pekerjaan.
E : Emotional
Reaction
Yaitu reaksi
emosional yang ditunjukkan dengan klien.
R: Respon to Stress
Yaitu respon klien
terhadap situasi saat ini atau di masa lalu.
S: Support System
Yaitu: keluarga atau
orang lain yang berarti.
O : Optimum Health
Goal
Yaitu : alasan untuk
menjadi lebih baik (motivasi)
N: Nexsus
Yaitu:
bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau mempunyai
gejala yang serius.
Hal
– hal yang pelu dikaji adalah :
1.
Mengkaji
pasien dan anggota keluarga berduka menentukan tingkat
berduka.
2.
Mengkaji
gejala klinis berduka : sesak di dada, nafas
pendek, berkeluh
kesah, perasaan penuh di perut, kehilangan kekuatan otot, distres perasaan yang hebat.
3.
Kaji
karakteristik berduka, kaji respon fisiologis, respon tubuh terhadap
kehilangan (reaksi stress)
4.
Faktor
yang mempengaruhi reaksi stress : umur, culture,
keyakinan
spiritual, peran seks, status sosial
ekonomi.
5.
Faktor
predisposisi
6.
Faktor presipitasi dan mekanisme koping.
3.5.2
Diagnosa
1. Ansietas (ketakutan
individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak
dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian
dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2. Berduka yang
behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan
fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
3. Perubahan proses
keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga, takut akan hasil
(kematian) dengan lingkungnnya penuh dengan stres (tempat perawatan).
4. Resiko terhadap
distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung
keagamaan, kurang pripasi atau ketidakmampuan diri dalam menghadapi ancaman
kematian.
1.1.1
Intervensi
Secara
umum :
1.
Membina
dan meningkatkan hubungan saling percaya dengan cara :
–
Mendengarkan
pasien berbicara
–
Memberi
dorongan agar agar pasien mau mengungkapkan perasaannya.
–
Menjawab
pertanyaan pasien secara langsung
–
Menunjukkan
sikap menerima dan empati
2.
Mengenali
faktor-faktor yang mungkin menghambat.
3.
Mengurangi
atau menghilangkan faktor penghambat.
4.
Memberi
dukungan terhadap respons kehilangan pasien.
5.
Meningkatkan
rasa kebersamaan antar anggota keluarga.
6.
Menentukan
tahap keberadaan pasien.
Secara
khusus :
1.
Tahap
Denial
·
Memberikan
kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
·
Menunjukan
sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
·
Memberi
jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit
dan pengobatan.
2.
Tahap
Anger
Mengijinkan
dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marah sacara verbal tanpa melawan
kemarahan :
·
Menjelaskan
kepada keluarga bahwa kemarahan pasien
sebenarnya
tidak ditujukan kepada mereka.
·
Membiarkan
pasien menangis.
·
Mendorong
pasien untuk membicarakan kemarahannya.
3.
Tahap
Bargainning
Membantu
pasien mengungkapkan rasa bersalah dan takut :
·
Mendengarkan
ungkapan dengan penuh perhatian
·
Mendorong
pasien untuk membicarakan rasa takut atau rasa
bersalahnya
·
Bila
pasien selalu mengungkapkan “kalau” atau “seandainya ….”
beritahu
pasien bahwa perawat hanya dapat melakukan sesuatu
yang nyata.
·
Membahas
bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah dan
rasa takutnya.
4.
Tahap
Depression
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan
takut :
·
Mengamati
perilaku pasien dan bersama dengannya membahas perasaannya
·
Mencegah
tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat risikonya
·
Membantu
pasien mengurangi rasa bersalah :
-
Menghargai
perasaan pasien
-
Membantu
pasien menemukan dukungan yang positif dengan mengaitkan dengan kenyataan
-
Memberi
kesempatan menangis dan mengungkapkan perasaan
-
Bersama
pasien membahas pikiran negatif yang selalu timbul
5.
Tahap
Acceptance
Membantu
pasien menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan :
·
Membantu
keluarga mengunjungi pasien secara teratur
·
Membantu
keluarga berbagi rasa
·
Membahas
rencana setelah masa berkabung terlewati
·
Memberi
informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan keluarga.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
·
Makna
spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan
sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Etnik adalah rasa identitas diri yang berkaitan
dengan kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya. Prospek
social budaya terhadap Keperawatan adalah suatu proses pemberian asuhan
keperawatan yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan, meningkatkan perilaku sehat sesuai
dengan latar belakang budaya dan menerapakan pelayanan keperawatan sesuai
dengan latar belakang budaya tanpa merugikan kesehatan atau melanggar prosedur
asuhan keperawatan.
·
Faktor
yang saling berkaitan dalam keperawatan : usia,
keluarga, Faktor sosial ekonomi, pengaruh
kultural, penyebab kematian, peran jenis kelamin, sifat hubungan, system
pendukung sosial.
4.2 Saran
Perawat
harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk
dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang
dan damai. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab
perawat harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang
unik. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan
klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan
untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.
Perawat
harus bisa menyelami lebih dalam perasaan pasienya guna mendapatkan data-data
yang valid nantinya, karena didalam mencari data pasien dibutuhkan kejelian dan
ketepatan oleh karena itu perawat harus benar-benar memahami konsep kehilangan
dan duka cita.
0 komentar:
Posting Komentar