Jumat, 05 Desember 2014

ASKEP KEHILANGAN

Diposting oleh Unknown di 17.39

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses penyakit terminal ? Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
Menjadi  seorang  perawat  bukanlah  tugas  yang  mudah.  Perawat  terus ditantang  oleh  perubahan-perubahan  yang  ada,  baik  dari  lingkungan  maupun klien.  Dari  segi  lingkungan,  perawat  selalu  dipertemukan  dengan  globalisasi. Sebuah globalisasi  sangat  memengaruhi  perubahan  dunia,  khususnya  di  bidang kesehatan.  Terjadinya  perpindahan  penduduk  menuntut  perawat  agar  dapat menyesuaikan  diri  dengan  perbedaan  budaya.  Semakin  banyak  terjadi perpindahan  penduduk,  semakin  beragam  pula  budaya di  suatu  negara.  Tuntutan itulah  yang  memaksa  perawat  agar  dapat  melakukan  asuhan  keperawatan  yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat. Lima  proses  keperawatan:  pengkajian,  diagnosa  keperawatan, perencanaan,  implementasi,  dan  evaluasi  selalu  berkaitan  erat  dengan  intervensi keperawatan.  Beda  usia,  beda  pula  intervensi  yang  akan  digunakan  oleh  perawat untuk  menyelesaikan  masalah  kesehatan  klien.  Sepanjang  daur  kehidupan manusia salah satunya meliputi lanjut usia yang diteruskan dengan menjelang dan saat  kematian.  Klien dalam kondisi terminal  membutuhkan  dukungan  dari  utama  dari  keluarga,  seakan  proses penyembuhan  bukan  lagi  merupakan  hal  yang  penting  dilakukan.  Sebenarnya, perawatan menjelang kematian bukanlah asuhan keperawatan yang sesungguhnya. Isi  perawatan  tersebut  hanyalah  motivasi  dan  hal-hal  lain  yang  bersifat mempersiapkan  kematian  klien.  Dengan  itu,  banyak  sekali  tugas  perawat  dalam memberi intervensi terhadap lansia, menjelang kematian, dan saat kematian.
1.2         Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian spiritual, etnik, dan culture dalam keperawatan ?
2.    Apa saja faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan ?
3.    Bagaimanakah konsep kehilangan dan asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal ?
4.    Apa sajakah tahapan kehilangan ?
5.    Bagaimanakah pengkajian, diagnosa, dan intervensi pasien pada tahap kehilangan ?

1.3         Tujuan Pembahasan
1.    Dapat memahami pengertian spiritual, etnik, dan culture dalam keperawatan.
2.    Dapat memahami faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan.
3.    Dapat memahami konsep kehilangan dan asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal.
4.    Dapat memahami tahapan kehilangan.
5.    Dapat memahami pengkajian, diagnosa, dan intervensi pasien pada tahap kehilangan.
1.4         Manfaat Pembahasan
1.    Bagi Pembaca
·      Memberikan gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan mengenai konsep kehilangan dan berduka.
2.    Bagi Penulis
·      Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3.    Bagi Pengajar
·      Sebagai referensi dan wujud nyata dari evaluasi atau materi yang diberikan.











BAB II
METODE PENULISAN
2.1     Library (studi kepustakaan)  
Sumber data pada penulisan makalah ini adalah informasi dari media cetak maupun elektronik. Untuk media cetak dari buku dan untuk media elektronik dari internet. Untuk pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan (metode library). Library (studi kepustakaan) yaitu suatu cara kerja untuk memperoleh data dengan jalan mempelajari teori- teori, pendapat-pendapat, majalah-majalah, buku-buku ilmiah, surat kabar dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan yang diteliti. Pendapat-pendapat tersebut diatas adalah pendapat dari para ilmuwan dan para ahli. Dengan melalui metode library ini akan diperoleh data sekunder. Setelah data terkumpul, dari data tersebut akan dibahas dalam lingkup pembahasan dan akan ditarik kesimpulan dari pembahasan tersebut.









BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Pengertian spiritual, etnik, dan culture dalam keperawatan
3.1.1       Spiritual dalam keperawatan
               Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).
               Para ahli keperawatan menyimpulkan bahwa spiritual merupakan sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga merupakan aspek yang menyatu dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki dimensi spiritual. Dimensi ini mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia.
3.1.2       Etnik dalam keperawatan
Etnik adalah  rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya.
ž  Seseorang dapat dilahirkan dalam suatu kelompok etnik tertentu tetapi dapat juga mengadopsi. karakteristik dari kelompok etnik lainnya.
ž   Karakteristik dari suatu kelompok etnik termasuk bahasa dan dialek yang sama,status perpindahan,suku bangsa,dan kepercayaan serta praktik religius.
ž  Masyarakat menggunakan bersama tradisi,nilai,simbol,literatur,cerita rakyat,musik dan makanan kesukaan.

3.1.3       Culture dalam keperawatan
Budaya menggambarkan sifat non fisik, seperti nilai, keyakinan,sikap,atau adat-istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
ž  E.B. Tilor, kebudayaan merupakan suatu yg kompleks, yang didalamnya mengandung pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral, hukum,adat istiadat, kemampuan-kemampuan  lain yang  dimiliki mayarakat.
Prospek social budaya terhadap Keperawatan adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan,
meningkatkan perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya dan menerapakan pelayanan keperawatan sesuai dengan latar belakang budaya tanpa merugikan kesehatan atau melanggar prosedur asuhan keperawatan.

Pengkajian asuhan keperawatan dalam konteks social budaya sangat diperlukan untuk menjembatani perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat dengan klien
§    perawat perlu memahami dan peka tentang beragam etnik,budaya dan spiritual yg memiliki makna subyektif thd kesehatan, keadaan sakit,asuhan,& praktek penyembuhan
§    Perspektif etnik,budaya dan spiritual visi dianggap penting bagi perawat & pelayanan kesehatan profesional lainnya dlm mengantarkan pelayanan kesehatan yg berkualitas kepada semua kliennya
§    perawat harus mengerti bagaimana budaya dan keyakinan mereka sendiri kepercayaan rohani terkait dg keyakinan & budaya klien yg berbeda
         

3.2         Faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan
a.          Usia
Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi individu terhadap kehilangan. Respon anak beragam sesuai dengan usia, pengalaman kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal, kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang mereka miliki dan yang terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan. Meskipun anak-anak mungkin tidak memahami konsep kematian karena usia mereka, mereka tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna kehilangan bagi mereka. Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat, atau mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7 pike,1993). 
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraian dan kerusakan fisik menyebabkan duka cita lebih mendalam dan mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sebagai suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orang dewasa. 
Lansia mengalami kepenumpukan kedukaan akibat dari banyak perubahan. Lansia sering takut tentang kejadian sekitar kematian melebihi kematian itu sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi, kehilangan peran sosial, penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian (Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).
b.         Keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap sedih secara terbuka.
c.          Faktor sosial ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
d.         Pengaruh kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’ menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain mengganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras. Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural yang mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, duka cita, dan kematian. Latar belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi pengekspresian berduka. Seseorang mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan dan makna dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai pribadi, dan keyakinan. Secara khas hal ini ditunjukkan dengan respon ”mengapa saya?”. Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga terjadi. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada di konsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
e.          Penyebab kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan shock dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan
f.          Peran jenis kelamin
Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial tentang peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada, umumnya lebih sulit bagi pria dibanding dengan wanita untuk mengespresikan duka cita secara terbuka. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.
g.         Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua berarti kehilangan masa lalu, kehilangan pasangan berarti kehilangan masa kini dan kehilangan anak berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung keyakinan bahwa kehilangan akan menciptakan respon kehilangan yang paling dalam (Saunders, 1992). Reaksi terhadap kehilangan dipengaruhi oleh kualitas hubungan. Makna hubungan pada hubungan duka akan mempengaruhi respon duka cita, apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atu bercerai. Hubungan yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan hubungan yang normal. Salah satu peristiwa yang paling memyulitkan dalam hidup adalah kehilangan pasangan. Kehilangan pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi kurang terampil dalam menghadapi tangung jawab keseluruhan. Kehilangan pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi pasangan yang ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau untuk mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau dibentuk bersama.
h.         Sistem pendukung sosial 
Vasibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.


3.3         Konsep kehilangan dan asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal

3.3.1             Konsep kehilangan
              Menurut Iyus Yosep dalam Buku Keperawatan Jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. 
              Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada). Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik secara individu. 
Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami. 
• Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya.
• Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak orang yang dicintai atau keduanya. Anak yang mulai belajar berjalan kehilangan citra tubuh semasa bayinya, wanita yang mengalami menopause kehilangan kemampuan untuk mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja mungkin akan kehilangan harga dirinya.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
v  BENTUK – BENTUK KEHILANGAN
1. Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
                                                                               
v  TIPE KEHILANGAN

1.         Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2.     Perceived Loss ( Psikologis ) 
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3.     Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat
dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.

v  SIFAT KEHILANGAN

1.         Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2.         Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)        
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.  Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, psikologis, dan sosial.


v  LIMA KATEGORI KEHILANGAN

1.      Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2.      Kehilangan lingkungan yang telah dikenal.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3.      Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4.      Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5.      Kehilangan hidup.
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup ke dalam empat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.

v  TAHAPAN PROSES KEHILANGAN
1.      Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2.      Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik.
3.      Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4.      Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.


3.3.2             Asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal
                                    A.      Pengkajian Riwayat Kesehatan
                                    1.      Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
2.      Riwayat kesehatan dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama
3.      Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan klien.
                                    Head To Toe
Perubahan fisik saat kematian mendekat :
a.       Pasien kurang rensponsif.
b.      Fungsi tubuh melamban.
c.       Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja.
d.      Rahang cenderung jatuh.
e.       Pernafasan tidak teratur dan dangkal.
f.       Sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan
melemah.
g.      Kulit pucat
h.      Mata membelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya.
     B.      Diagnosa Keperawatan
                                 1. Ansietas/ ketakutan individu, keluarga yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2.    Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain
3.    Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat perawatan )
 C.    Intervensi Keperawatan
Diagnosa I
Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang berhubungan denga situasi yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negative pada gaya hidup.
No
Intervensi
Rasional
1.
Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
1.      Berikan kepastian dan kenyamanan.
2.      Tunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati, jangan menghindari pertanyaan.
3.      Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan dengan pengobatannya.
4.      Identifikasi dan dukung mekanisme koping efektif.
Klien yang cemas mempunyai penyempitan lapang persepsi dengan penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2
Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau sedang.
Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atau parah tidak menyerap pelajaran.
3
Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4
Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif.
Menghargai klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang

                                 Diagnosa II
Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep diri dan menark diri dari orang lain.
No
Intervensi
Rasional
1
Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan, didiskusikan kehilangan secara terbuka , dan gali makna pribadi dari kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon mereka terhadap situasi tersebut.
2
Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang memberikan keberhasilan pada masa lalu
Stategi koping positif membantu penerimaan dan pemecahan masalah
3
Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan penerimaan kematian yang terjadi
4
Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua pertanyaan dengan jujur
Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima
5
Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak nyamanan dan dukungan
Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai tindakan keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik     (skoruka dan bonet 1982 )

Diagnosa III
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan takut akan hasil ( kematian ) dan lingkungannya penuh stres (tempat perawatan )
No
Intervensi
Rasional
1
Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan pengertian yang empati
Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran
2
Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan, ketakutan dan kekawatiran.
Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk mengatasinya
3
Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU

Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas yang berkaitan dengan ketidak takutan
4
Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien
5
Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga berkelanjutan
6
Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalah seperti kebutuhan financial , koping yang tidak berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga

Diagnosa Keperawatan
1.        Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan kondisi sakit terminal.
2.        Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3.        Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
4.        Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas
5.        Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain maupun perawat.
6.        Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat.
7.        Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan

Rencana Keperawatan
1.Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan kondisi sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a)        Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
b)        Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c)        Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d)       Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e)        Perhatikan kenyamanan fisik klien.

2.Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
Tujuan :
Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
a)        Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
b)        Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
c)        Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
d)       Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan hal – hal yang disenangi klien.
e)        Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam hal perawatan.

3. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
Tujuan :
Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi :
a)        Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
b)        Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c)        Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga ataupun keyakinan klien.
d)       Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan, kematian dan sekarat.
e)        Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi, yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
f)         Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag pengalaman – pengalaman klien yang menyenangkan.

4.  Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a)        Kaji tingkat kecemasan klien.
b)        Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c)        Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d)       Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e)        Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f)         Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g)        Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h)        Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.

5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a)        Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b)        Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c)        Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d)       Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e)        Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f)         Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g)        Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h)        Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.

6.Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
a)        Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
b)        Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
c)         Ajarkan tata cara tayamum.
d)       Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e)        Datangkan seorang ahli agama.

7.Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan
Tujuan :
Membantu individu menangani kesedihan secara efektif
Intervensi :
a)        Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan – perasaan antara lain : sedih, marah dan lain – lain.
b)        Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan – perasaan anggota keluarga.
c)        Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari – hari yang dapat dilakukan.
d)       Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
e)        Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara duduk disamping keluarga, mendengarkan keluhan dengan tetap menghormati klien serta keluarga.
f)         Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara keagamaan menjelang saat – saat kematian.
3.4         Tahapan kehilangan
1.            Fase Berduka Menurut Angel
a.                        Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b.                      Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c.                       Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d.                      Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e.                       Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

2.            Tahapan Kehilangan menurut Kubler Ross ( 1969 ) :
1. Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Implikasi Keperawatan: Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan perilaku atau kebutuhan untuk mengatasi, kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien perawatan dasar seperti makanan, minuman, oksigensi, kenyamanan, dan keamanan.

2. Anger ( Marah )
Sadar kenyataan kehilangan. Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. 
Implikasi Keperawatan: Berikan pedoman antisipasi tentang perasaan dan intensitasnya yang mereka alami sebagai bagian dari kedukaan. Fokuskan terutama poada kemarahan. Jangan mengambil hati kemarahan yang dilontarkan klien. Penuhi kebutuhan yang menyebabkan respons marah. Berikan dorongan kepada klien dan keluarganya untuk mengekspresikan perasaan mereka.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”. Implikasi Keperawatan: Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.

4. Depression ( Bersedih yang mendalam) 
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun. 
Implikasi Keperawatan: Berikan dukungan dan empati. Dukung menangis dengan memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian. Mendengarkan dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri dan rujuk ke tenaga profesional kesehatan mental jika di perlukan.

5.
Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.

Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.

3.            Fase berduka menurut Rando :
1. Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan.
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.

4.            Fase berduka menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) :

1.      Repudiation ( Penolakan )
2.      Recognition ( Pengenalan )
3.      Reconciliation (Pemulihan / reorganisasi )
  
5.            Tahap berduka menurut PARKES (1986) dan PARKES ET AL (1991)

1. Mati rasa dan meningkari.
Orang yang baru saja mengalami kehilangan akan merasa tidak nyata, penghentian waktu, segera setelah kematian orang yang penting dalam kehidupan mereka. Perasaan ini digambarkan sebagai “mati rasa”. Ada kecenderungan untuk mengingkari kejadian dan keyakinan bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai berminggu-minggu.
2. Kerinduan atau Pining
Fase ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Hal ini dinyatakan dalam mimpi orang yang kehilangan, dan orang yang sering kalil menyatakan meluhat orang yang sudah meninggal dalam keramaian.
3. Putus asa dan depresi
Jika orang yang kehilangan akhirnya menyadari kenyataan tentang kematian, ada perasaan putus asa yang hebat dan kadang terjadi depresi. Periode ini adalah saat individu mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang dimasa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan.
4. Penyembuhan dan reorganiosasi.
Pada titik tertentu kebanyakan individu yang kehilangan menyadari bahwa hidup mereka harus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari keberadaan mereka.
  Tidak semua orang dapat melampaui tahap - tahap tersebut dengan baik, dapat saja terjadi, ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi lain. Jangka waktu periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan suatu prognosa penyakit terminal memang berat bagi setiap individu. Ini merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada individu tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas pada individu, cemas dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang cepat mengusahakan koping. Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat digambarkan dalam suatu rentang yaitu harapan, ketidakpastian dan putus asa.
1.                Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya harapan dapat mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping yang adekuat.
2.                Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasa tidak aman dan putus asa, meskipun secara medis sudah dapat dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat klien masuk dalam maladaptif.
3.                Putus Asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat berhasil untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien merusak atau melukai diri sendiri.

3.5         Pengkajian, diagnosa, dan intervensi pasien pada tahap kehilangan
3.5.1                      Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial lainnya. Salah satu metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal yaitu dengan menggunakan metode “PERSON”.
 P : Personal Strenght
Yaitu : kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatannya atau pekerjaan.
                            E : Emotional Reaction
                            Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
                            R: Respon to Stress
                            Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau di masa lalu.
                            S: Support System
                            Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
                            O : Optimum Health Goal
                            Yaitu : alasan untuk menjadi lebih baik (motivasi)
                            N: Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau mempunyai gejala yang serius.
Hal – hal yang pelu dikaji adalah :
1.      Mengkaji pasien dan anggota keluarga berduka menentukan tingkat
berduka.
2.      Mengkaji gejala klinis berduka : sesak di dada,  nafas pendek, berkeluh
kesah, perasaan penuh di perut, kehilangan kekuatan otot, distres  perasaan yang hebat.
3.      Kaji karakteristik berduka, kaji respon fisiologis, respon tubuh terhadap
kehilangan (reaksi stress)
4.      Faktor yang mempengaruhi reaksi stress : umur, culture, keyakinan
spiritual, peran seks, status sosial ekonomi.
5.      Faktor predisposisi
6.       Faktor presipitasi dan mekanisme koping.

3.5.2                                         Diagnosa
1. Ansietas (ketakutan individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
3. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga, takut akan hasil (kematian) dengan lingkungnnya penuh dengan stres (tempat perawatan).
4. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidakmampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian.


1.1.1                      Intervensi
Secara umum :
1.      Membina dan meningkatkan hubungan saling percaya dengan cara :
     Mendengarkan pasien berbicara
     Memberi dorongan agar agar pasien mau mengungkapkan perasaannya.
     Menjawab pertanyaan pasien secara langsung
     Menunjukkan sikap menerima dan empati      
2.      Mengenali faktor-faktor yang mungkin menghambat.
3.      Mengurangi atau menghilangkan faktor penghambat.
4.      Memberi dukungan terhadap respons kehilangan pasien.
5.      Meningkatkan rasa kebersamaan antar anggota keluarga.
6.      Menentukan tahap keberadaan pasien.
Secara khusus :
1.          Tahap Denial

·                Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
·                Menunjukan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
·                Memberi jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit dan pengobatan.
2.          Tahap Anger
        Mengijinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marah sacara verbal tanpa melawan kemarahan :
·                Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien
         sebenarnya tidak ditujukan kepada mereka.
·                Membiarkan pasien menangis.
·                Mendorong pasien untuk membicarakan kemarahannya.

3.          Tahap Bargainning
        Membantu pasien mengungkapkan rasa bersalah dan takut :
·                Mendengarkan ungkapan dengan penuh perhatian
·                Mendorong pasien untuk membicarakan rasa takut atau rasa
         bersalahnya
·                Bila pasien selalu mengungkapkan “kalau” atau “seandainya ….”
         beritahu pasien bahwa perawat hanya dapat melakukan sesuatu
         yang nyata.
·                Membahas bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah dan
         rasa takutnya.

4.          Tahap Depression
                                    Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan takut :
·         Mengamati perilaku pasien dan bersama dengannya membahas perasaannya
·         Mencegah tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat risikonya
·         Membantu pasien mengurangi rasa bersalah :
-          Menghargai perasaan pasien
-          Membantu pasien menemukan dukungan yang positif dengan mengaitkan dengan kenyataan
-          Memberi kesempatan menangis dan mengungkapkan perasaan
-          Bersama pasien membahas pikiran negatif yang selalu timbul

5.          Tahap Acceptance
        Membantu pasien menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan :
·           Membantu keluarga mengunjungi pasien secara teratur
·           Membantu keluarga berbagi rasa
·           Membahas rencana setelah masa berkabung terlewati
·           Memberi informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan keluarga.
















BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
·         Makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Etnik adalah  rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya. Prospek social budaya terhadap Keperawatan adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan, meningkatkan perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya dan menerapakan pelayanan keperawatan sesuai dengan latar belakang budaya tanpa merugikan kesehatan atau melanggar prosedur asuhan keperawatan.
·         Faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan : usia, keluarga, Faktor sosial ekonomi, pengaruh kultural, penyebab kematian, peran jenis kelamin, sifat hubungan, system pendukung sosial.




4.2       Saran
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.
Perawat harus bisa menyelami lebih dalam perasaan pasienya guna mendapatkan data-data yang valid nantinya, karena didalam mencari data pasien dibutuhkan kejelian dan ketepatan oleh karena itu perawat harus benar-benar memahami konsep kehilangan dan duka cita.











0 komentar:

Posting Komentar

 

SHARE D' MOMENT Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review