MAKALAH tentang BERDUKA
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia II
Dosen Pembimbing : Ns. Ririn Anantasari, M.Kep., Ns. Sp. Mat.
ANGGOTA
KELOMPOK :
1.
ANNISA
RAHMAWATI (1201200018)
2.
RIZKA BERTI P. (1201200023)
3.
GEMALA AQILAH W.P (1201200025)
4.
KARINA
SARASWATI (1201200030)
5.
M. HARIS
ZAINULLAH (1201200032)
KELAS 1A
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
PRODI DIII KEPERAWATAN LAWANG
TAHUN AJARAN 2012 / 2013
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan “Makalah tentang Berduka” ini, dengan lancar tanpa halangan yang berarti. Makalah ini disusun dengan harapan mampu menambah dan meningkatkan wawasan penulis
pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada :
- Ibu Ns. Ririn Anantasari, M.Kep., Ns. Sp.
Mat.selaku dosen mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia II.
- Keluarga yang
senantiasa mendukung secara moril dan materil, dan
- Semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan
di kemudian hari.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Lawang, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................. ii
Bab I
Pendahuluan............................................................................... 1
1.1.
Latar Belakang........................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3.
Tujuan
Penulisan........................................................................ 2
1.4.
Manfaat
Penulisan...................................................................... 2
Bab II Metode
Penulisan...................................................................... 3
2.1. Library (Studi
Kepustakaan)............................................................3
Bab III
Pembahasan............................................................................. 4
3.1. Kajian tentang
wawancara...............................................................4
3.2. Kajian tentang
anamnesa..................................................................4
3.2.1. Definisi
anamnesa..................................................................4
3.2.2. Tujuan
anamnesis...................................................................5
3.2.3. Jenis
anamnesis......................................................................5
3.2.4. Persiapan anamnesis..............................................................6
- 8
3.2.5. Cara melakukan
anamnesis...................................................9 - 11
3.2.6. Hambatan dalam
anamnesis...................................................11 - 13
Bab IV Penutup................................................................................... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lahir,
kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang
sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Perawat
adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan
kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Bagaimana
peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses penyakit
terminal ? Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena
peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral
dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan
biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya
setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Dalam
perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi
sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan
untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat
menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.
Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi
menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak
tetap (Suseno, 2004).
Perawat
bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme
koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima
kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam
konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Kehilangan
dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang
mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan
dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan
pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan,
pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman
pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan
keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
Menjadi seorang perawat
bukanlah tugas yang
mudah. Perawat terus ditantang oleh
perubahan-perubahan yang ada,
baik dari lingkungan
maupun klien. Dari segi
lingkungan, perawat selalu
dipertemukan dengan globalisasi. Sebuah globalisasi sangat
memengaruhi perubahan dunia,
khususnya di bidang kesehatan. Terjadinya
perpindahan penduduk menuntut
perawat agar dapat menyesuaikan diri
dengan perbedaan budaya.
Semakin banyak terjadi perpindahan penduduk,
semakin beragam pula
budaya di suatu negara.
Tuntutan itulah yang memaksa
perawat agar dapat
melakukan asuhan keperawatan
yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat. Lima proses
keperawatan: pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi
selalu berkaitan erat
dengan intervensi
keperawatan. Beda usia,
beda pula intervensi
yang akan digunakan
oleh perawat untuk menyelesaikan
masalah kesehatan klien.
Sepanjang daur kehidupan manusia salah satunya meliputi
lanjut usia yang diteruskan dengan menjelang dan saat kematian.
Klien dalam kondisi terminal
membutuhkan dukungan dari
utama dari keluarga,
seakan proses penyembuhan bukan
lagi merupakan hal
yang penting dilakukan.
Sebenarnya, perawatan menjelang kematian bukanlah asuhan keperawatan
yang sesungguhnya. Isi perawatan tersebut
hanyalah motivasi dan
hal-hal lain yang
bersifat mempersiapkan kematian klien.
Dengan itu, banyak
sekali tugas perawat
dalam memberi intervensi terhadap lansia, menjelang kematian, dan saat
kematian.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian spiritual, etnik, dan
culture dalam keperawatan ?
2.
Apa saja faktor yang saling berkaitan dalam
keperawatan ?
3.
Bagaimanakah konsep kehilangan dan asuhan keperawatan
pasien dengan kasus terminal ?
4.
Apa sajakah tahapan kehilangan ?
5.
Bagaimanakah pengkajian, diagnosa, dan
intervensi pasien pada tahap kehilangan ?
1.3
Tujuan Pembahasan
1.
Dapat memahami pengertian spiritual, etnik, dan
culture dalam keperawatan.
2.
Dapat memahami faktor yang saling berkaitan
dalam keperawatan.
3.
Dapat memahami konsep kehilangan dan asuhan
keperawatan pasien dengan kasus terminal.
4.
Dapat memahami tahapan kehilangan.
5.
Dapat memahami pengkajian, diagnosa, dan
intervensi pasien pada tahap kehilangan.
1.4
Manfaat Pembahasan
1.
Bagi Pembaca
·
Memberikan gambaran umum
kepada mahasiswa keperawatan mengenai konsep kehilangan dan berduka.
2.
Bagi Penulis
·
Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara
sistematis.
3.
Bagi Pengajar
·
Sebagai referensi dan wujud nyata dari
evaluasi atau materi yang diberikan.
BAB II
METODE PENULISAN
2.1 Library
(studi kepustakaan)
Sumber
data pada penulisan makalah ini adalah informasi dari media cetak maupun
elektronik. Untuk media cetak dari buku dan untuk media elektronik dari
internet. Untuk pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan (metode
library). Library
(studi kepustakaan) yaitu suatu cara kerja untuk memperoleh data dengan jalan
mempelajari teori- teori, pendapat-pendapat, majalah-majalah,
buku-buku
ilmiah, surat kabar dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan
dengan yang diteliti. Pendapat-pendapat tersebut diatas adalah
pendapat dari para ilmuwan dan para ahli. Dengan
melalui metode library ini akan diperoleh data sekunder. Setelah
data terkumpul, dari data tersebut akan dibahas dalam lingkup pembahasan dan
akan ditarik kesimpulan dari pembahasan tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Pengertian
spiritual, etnik, dan culture dalam keperawatan
3.1.1 Spiritual dalam keperawatan
Berdasarkan
konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna,
harapan, kerukunan, dan sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson
mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan
dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Tuhan. Menurut
Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter, dan transpersonal.
Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan
mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku
serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan
(Dossey & Guazetta, 2000).
Para ahli
keperawatan menyimpulkan bahwa spiritual merupakan sebuah konsep yang dapat
diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga merupakan aspek yang menyatu
dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki dimensi spiritual.
Dimensi ini mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh
aspek hidup manusia.
3.1.2 Etnik dalam keperawatan
Etnik adalah rasa identitas diri
yang berkaitan dengan kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya.
Seseorang dapat dilahirkan dalam suatu kelompok etnik tertentu tetapi dapat
juga mengadopsi. karakteristik dari kelompok etnik lainnya.
Karakteristik dari suatu kelompok etnik termasuk
bahasa dan dialek yang sama,status perpindahan,suku bangsa,dan kepercayaan
serta praktik religius.
Masyarakat menggunakan bersama tradisi,nilai,simbol,literatur,cerita
rakyat,musik dan makanan kesukaan.
3.1.3 Culture dalam keperawatan
Budaya menggambarkan sifat non fisik,
seperti nilai, keyakinan,sikap,atau adat-istiadat yang disepakati oleh kelompok
masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
E.B. Tilor, kebudayaan merupakan suatu yg kompleks, yang didalamnya
mengandung pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral, hukum,adat istiadat,
kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki mayarakat.
Prospek social
budaya terhadap Keperawatan adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan
yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan,
meningkatkan
perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya dan menerapakan pelayanan
keperawatan sesuai dengan latar belakang budaya tanpa merugikan kesehatan atau
melanggar prosedur asuhan keperawatan.
Pengkajian
asuhan keperawatan dalam konteks social budaya sangat diperlukan untuk menjembatani
perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat dengan klien
§ perawat perlu memahami dan peka tentang beragam etnik,budaya dan spiritual
yg memiliki makna subyektif thd kesehatan, keadaan sakit,asuhan,& praktek
penyembuhan
§ Perspektif etnik,budaya dan spiritual visi dianggap penting bagi perawat
& pelayanan kesehatan profesional lainnya dlm mengantarkan pelayanan
kesehatan yg berkualitas kepada semua kliennya
§ perawat harus mengerti bagaimana budaya dan keyakinan mereka sendiri
kepercayaan rohani terkait dg keyakinan & budaya klien yg berbeda
3.2
Faktor yang saling berkaitan dalam keperawatan
a.
Usia
Usia memainkan peran dalam pengenalan
dan reaksi individu terhadap kehilangan. Respon anak beragam sesuai dengan
usia, pengalaman kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal,
kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang
mereka miliki dan yang terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan.
Meskipun anak-anak mungkin tidak memahami konsep kematian karena usia mereka,
mereka tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna kehilangan bagi mereka.
Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat, atau
mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7
pike,1993).
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraian dan kerusakan fisik menyebabkan duka cita lebih mendalam dan mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sebagai suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orang dewasa.
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraian dan kerusakan fisik menyebabkan duka cita lebih mendalam dan mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sebagai suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orang dewasa.
Lansia mengalami kepenumpukan
kedukaan akibat dari banyak perubahan. Lansia sering takut tentang kejadian
sekitar kematian melebihi kematian itu sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian,
isolasi, kehilangan peran sosial, penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan
determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian (Rando,
1986, Kastenbaum, 1991).
b.
Keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan.
Anak terbesar biasanya menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap sedih
secara terbuka.
c.
Faktor
sosial ekonomi
Apabila
yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan
orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa
mengganggu kelangsungan hidup.
d.
Pengaruh
kultural
Kultur
mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’ menganggap kesedihan
adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga,
kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain mengganggap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras. Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan
adalah aspek cultural yang mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, duka cita,
dan kematian. Latar belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi
pengekspresian berduka. Seseorang mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan
dan makna dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian
klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai pribadi, dan
keyakinan. Secara khas hal ini ditunjukkan dengan respon ”mengapa saya?”. Konflik
internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga terjadi. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa
aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada di konsep dasar agama. Tetapi ada
juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
e.
Penyebab
kematian
Seseorang
yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan shock dan
tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat
kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan
f.
Peran jenis kelamin
Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial tentang
peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada,
umumnya lebih sulit bagi pria dibanding dengan wanita untuk mengespresikan duka
cita secara terbuka. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian
tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.
g.
Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua
berarti kehilangan masa lalu, kehilangan pasangan berarti kehilangan masa kini
dan kehilangan anak berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung
keyakinan bahwa kehilangan akan menciptakan respon kehilangan yang paling dalam
(Saunders, 1992). Reaksi terhadap kehilangan dipengaruhi oleh kualitas
hubungan. Makna hubungan pada hubungan duka akan mempengaruhi respon duka cita,
apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atu bercerai. Hubungan
yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan
dibandingkan hubungan yang normal. Salah
satu peristiwa yang paling memyulitkan dalam hidup adalah kehilangan pasangan.
Kehilangan pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi kurang terampil dalam
menghadapi tangung jawab keseluruhan. Kehilangan pasangan juga menimbulkan
kesulitan bagi pasangan yang ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau
untuk mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau dibentuk
bersama.
h.
Sistem pendukung sosial
Vasibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.
Vasibilitas kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.
3.3
Konsep kehilangan dan asuhan keperawatan pasien dengan kasus terminal
3.3.1
Konsep
kehilangan
Menurut
Iyus Yosep dalam Buku Keperawatan Jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan
Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman
yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan
gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu
keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi
tidak ada). Kehilangan dan kematian
adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik
secara individu.
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami.
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami.
• Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang
diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya.
• Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi
secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian
mendadak orang yang dicintai atau keduanya. Anak yang mulai belajar berjalan
kehilangan citra tubuh semasa bayinya, wanita yang mengalami menopause
kehilangan kemampuan untuk mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja
mungkin akan kehilangan harga dirinya.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
v BENTUK – BENTUK KEHILANGAN
1. Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
v TIPE
KEHILANGAN
1.
Actual
Loss
Kehilangan
yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu
yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut
hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainnya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
v SIFAT
KEHILANGAN
1.
Tiba–tiba
(Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan
secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita
yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau
pelalaian diri akan sulit diterima.
2.
Berangsur
– angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit
yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan
mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang
ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang
mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah
dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung
pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan
menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi
kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi
peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium
fisik, psikologis, dan sosial.
v LIMA
KATEGORI KEHILANGAN
1. Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup.
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup ke dalam empat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup ke dalam empat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.
v TAHAPAN
PROSES KEHILANGAN
1. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi
positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan
merasa nyaman.
2. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya
– marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)–
muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku
konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau
eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku
destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.
3.3.2
Asuhan
keperawatan pasien dengan kasus terminal
A. Pengkajian Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
2. Riwayat kesehatan
dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit
dengan penyakit yang sama
3. Riwayat kesehatan
keluarga
Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan
klien.
Head
To Toe
Perubahan fisik saat kematian mendekat :
a. Pasien kurang
rensponsif.
b. Fungsi tubuh melamban.
c. Pasien berkemih dan
defekasi secara tidak sengaja.
d. Rahang cenderung
jatuh.
e. Pernafasan tidak
teratur dan dangkal.
f. Sirkulasi melambat
dan ektremitas dingin, nadi cepat dan
melemah.
g. Kulit pucat
h. Mata membelalak dan
tidak ada respon terhadap cahaya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas/ ketakutan individu, keluarga yang
berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi
yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada
gaya hidup.
2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan
kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri
dari orang lain
3. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan
gangguan kehidupan keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya
penuh dengan stres ( tempat perawatan )
C. Intervensi
Keperawatan
Diagnosa
I
Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang
berhubungan denga situasi yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat
diperkirakan takut akan kematian dan efek negative pada gaya hidup.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
1. Berikan kepastian dan kenyamanan.
2. Tunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati, jangan menghindari
pertanyaan.
3. Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobatannya.
4. Identifikasi dan dukung mekanisme koping efektif.
|
Klien yang cemas mempunyai penyempitan lapang persepsi dengan penurunan
kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah.
Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri
fisik.
|
2
|
Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya
rendah atau sedang.
|
Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atau parah tidak menyerap pelajaran.
|
3
|
Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
|
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
|
4
|
Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif.
|
Menghargai klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping
positif yang akan datang
|
Diagnosa
II
Berduka yang berhubungan penyakit
terminal dan kematian yang akan dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep
diri dan menark diri dari orang lain.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka , dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
|
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak
berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya.
Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima
dan mengatasi situasi dan respon mereka terhadap situasi tersebut.
|
2
|
Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang
memberikan keberhasilan pada masa lalu
|
Stategi koping positif membantu penerimaan dan pemecahan masalah
|
3
|
Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang
positif
|
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi
|
4
|
Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab
semua pertanyaan dengan jujur
|
Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai
kematian yang akan terjadi di terima
|
5
|
Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan
ketidak nyamanan dan dukungan
|
Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai tindakan
keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )
|
Diagnosa III
Perubahan proses keluarga yang
berhubungan dengan gangguan kehidupan takut akan hasil ( kematian ) dan
lingkungannya penuh stres ( tempat perawatan )
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati
|
Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian dan peduli dapat
membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran
|
2
|
Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan
perasaan, ketakutan dan kekawatiran.
|
Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengintifikasi ketakutan dan
kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk mengatasinya
|
3
|
Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU
|
Informasi ini dapat membantu
mengurangi ansietas yang berkaitan
dengan ketidak takutan
|
4
|
Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan
dan berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien
|
|
5
|
Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan
perawan
|
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan
|
6
|
Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
|
Keluarga denagan masalah-masalah seperti kebutuhan financial , koping
yang tidak berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber
tambahan untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga
|
Diagnosa
Keperawatan
1. Merasa kehilangan harapan hidup dan
terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan kondisi sakit terminal.
2. Kehilangan harga diri berhubungan
dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3. Depresi berhubungan dengan kesedihan
tentang dirinya dalam keadaan terminal
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan
sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien selalu bertanya tentang
penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas
5. Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai dengan klien yang
selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang
dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap
orang lain maupun perawat.
6. Distress spiritual berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam
keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam
melakukan ibadah sholat.
7. Inefektif koping keluarga berhubungan
dengan kehilangan
Rencana
Keperawatan
1.Merasa
kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan
dengan kondisi sakit terminal
Tujuan
:
Klien
merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi
:
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap
pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat
bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya
sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi
dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien.
2.Kehilangan
harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
Tujuan
:
Mempertahankan
rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi
:
a) Gali perasaan klien sehubungan dengan
kehilangan.
b) Perhatikan penampilan klien saat
bertemu dengan orang lain.
c) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien
antara lain hygiene, eliminasi.
d) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk
saling berkunjung dan melakukan hal – hal yang disenangi klien.
e) Beri klien support dan biarkan klien
memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam hal perawatan.
3.Depresi
berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
Tujuan
:
Mengurangi
rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi
:
a) Bantu klien untuk mengungkapkan
perasaan sedih, marah dan lain lain.
b) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa
perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c) Bantu klien untuk mengidentifikasi
sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga ataupun keyakinan klien.
d) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk
mencerminkan arti penderitaan, kematian dan sekarat.
e) Gunakan sentuhan ketika klien
menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi, yakinkan bahwa perawat
selalu siap membantu.
f) Lakukan hubungan interpersonal yang
baik dan berkomunikasi tentag pengalaman – pengalaman klien yang menyenangkan.
4.Cemas
berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut
muka klien yang cemas
Tujuan
:
Klien
tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi
:
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada
klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan tetap mengikuti dan mematuhi
petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap
berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang
memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan
teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan
teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai
perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana
perawatan dan pengobatan.
5.Koping
individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian,
ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan
Tuhan atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan
keluarga/teman, marah terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan
:
Koping
individu positif
Intervensi
:
a) Gali koping individu yang positif yang
pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap
manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan itu telah ditentukan oleh
Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap
berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap
mendampingi klien dan mendengarkan segala keluhan dengan rasa empati dan penuh
perhatian.
e) Hindari barang – barang yang mungkin
dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak
kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa
untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan
perasaannya.
6.Distress
spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah
dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan
:
Kebutuhan
spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi
:
a) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai
ibadah sholat.
b) Ajarkan pada klien cara sholat dalam
keadaan berbaring.
c) Ajarkan tata cara tayamum.
d) Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e) Datangkan seorang ahli agama.
7.Inefektif
koping keluarga berhubungan dengan kehilangan
Tujuan
:
Membantu
individu menangani kesedihan secara efektif
Intervensi
:
a) Motivasi keluarga untuk
menverbalisasikan perasaan – perasaan antara lain : sedih, marah dan lain –
lain.
b) Beri pengertian dan klarifikasi
terhadap perasaan – perasaan anggota keluarga.
c) Dukung keluarga untuk tetap melakukan
aktivitas sehari – hari yang dapat dilakukan.
d) Bantu keluarga agar mempunyai
pengaharapan yang realistis.
e) Berikan rasa empati dan rasa aman dan
tenteram dengan cara duduk disamping keluarga, mendengarkan keluhan dengan
tetap menghormati klien serta keluarga.
f) Berikan kesempatan pada keluarga untuk
melakukan upacara keagamaan menjelang saat – saat kematian.
3.4
Tahapan kehilangan
1.
Fase Berduka Menurut Angel
a.
Fase I
(shock dan tidak percaya)
Seseorang
menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau
pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual,
diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b.
Fase II
(berkembangnya kesadaran)
Seseorang
mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba
terjadi.
c.
Fase III
(restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan
yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian
yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e.
Fase V
Kehilangan
yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini
diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah
berkembang.
2.
Tahapan Kehilangan menurut Kubler Ross ( 1969 ) :
1. Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Implikasi Keperawatan: Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan perilaku atau kebutuhan untuk mengatasi, kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien perawatan dasar seperti makanan, minuman, oksigensi, kenyamanan, dan keamanan.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Implikasi Keperawatan: Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan perilaku atau kebutuhan untuk mengatasi, kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien perawatan dasar seperti makanan, minuman, oksigensi, kenyamanan, dan keamanan.
2. Anger ( Marah )
Sadar kenyataan kehilangan. Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Implikasi Keperawatan: Berikan pedoman antisipasi tentang perasaan dan intensitasnya yang mereka alami sebagai bagian dari kedukaan. Fokuskan terutama poada kemarahan. Jangan mengambil hati kemarahan yang dilontarkan klien. Penuhi kebutuhan yang menyebabkan respons marah. Berikan dorongan kepada klien dan keluarganya untuk mengekspresikan perasaan mereka.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”. Implikasi Keperawatan: Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
Implikasi Keperawatan: Berikan dukungan dan empati. Dukung menangis dengan memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian. Mendengarkan dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri dan rujuk ke tenaga profesional kesehatan mental jika di perlukan.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.
Sadar kenyataan kehilangan. Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Implikasi Keperawatan: Berikan pedoman antisipasi tentang perasaan dan intensitasnya yang mereka alami sebagai bagian dari kedukaan. Fokuskan terutama poada kemarahan. Jangan mengambil hati kemarahan yang dilontarkan klien. Penuhi kebutuhan yang menyebabkan respons marah. Berikan dorongan kepada klien dan keluarganya untuk mengekspresikan perasaan mereka.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”. Implikasi Keperawatan: Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
Implikasi Keperawatan: Berikan dukungan dan empati. Dukung menangis dengan memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian. Mendengarkan dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri dan rujuk ke tenaga profesional kesehatan mental jika di perlukan.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.
3.
Fase berduka menurut Rando :
1. Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan.
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan.
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.
4.
Fase berduka menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) :
1. Repudiation ( Penolakan )
2. Recognition ( Pengenalan )
3. Reconciliation (Pemulihan / reorganisasi )
5.
Tahap berduka
menurut PARKES (1986) dan PARKES ET AL (1991)
1. Mati rasa dan meningkari.
Orang yang baru saja mengalami kehilangan akan merasa tidak nyata,
penghentian waktu, segera setelah kematian orang yang penting dalam kehidupan
mereka. Perasaan ini digambarkan sebagai “mati rasa”. Ada kecenderungan untuk
mengingkari kejadian dan keyakinan bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk. Hal ini
berlangsung beberapa hari sampai berminggu-minggu.
2. Kerinduan atau Pining
Fase ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk menghidupkan
kembali orang yang sudah meninggal. Hal ini dinyatakan dalam mimpi orang yang
kehilangan, dan orang yang sering kalil menyatakan meluhat orang yang sudah
meninggal dalam keramaian.
3. Putus asa dan depresi
Jika orang yang kehilangan akhirnya menyadari kenyataan tentang
kematian, ada perasaan putus asa yang hebat dan kadang terjadi depresi. Periode
ini adalah saat individu mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan
merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang dimasa lalu dilakukan
dengan sedikit kesulitan.
4. Penyembuhan dan reorganiosasi.
Pada titik tertentu kebanyakan individu yang kehilangan menyadari
bahwa hidup mereka harus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari
keberadaan mereka.
Tidak
semua orang dapat melampaui tahap - tahap tersebut dengan baik, dapat saja
terjadi, ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi
lain. Jangka waktu periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan
suatu prognosa penyakit terminal memang berat bagi setiap individu. Ini
merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada individu
tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas pada
individu, cemas dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan
yang cepat mengusahakan koping. Rentang respon seseorang terhadap penyakit
terminal dapat digambarkan dalam suatu rentang yaitu harapan, ketidakpastian
dan putus asa.
1.
Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan
adanya harapan dapat mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping
yang adekuat.
2.
Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai
dengan rasa tidak aman dan putus asa, meskipun secara medis sudah dapat
dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat klien masuk dalam maladaptif.
3.
Putus Asa
Biasanya
ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat
berhasil untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien
merusak atau melukai diri sendiri.
3.5
Pengkajian,
diagnosa, dan intervensi pasien pada tahap kehilangan
3.5.1
Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan
pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan
hanya pada penyakit dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga
aspek psikososial lainnya. Salah satu metode untuk membantu perawat dalam
mengkaji data psikososial pada klien terminal yaitu dengan menggunakan metode
“PERSON”.
P : Personal Strenght
Yaitu : kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup,
kegiatannya atau pekerjaan.
E :
Emotional Reaction
Yaitu
reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
R:
Respon to Stress
Yaitu
respon klien terhadap situasi saat ini atau di masa lalu.
S:
Support System
Yaitu:
keluarga atau orang lain yang berarti.
O :
Optimum Health Goal
Yaitu
: alasan untuk menjadi lebih baik (motivasi)
N:
Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai
penyakit atau mempunyai gejala yang serius.
Hal – hal yang pelu dikaji adalah :
1.
Mengkaji pasien dan anggota keluarga berduka menentukan tingkat
berduka.
2.
Mengkaji gejala klinis berduka : sesak di dada, nafas pendek, berkeluh
kesah, perasaan penuh di perut, kehilangan kekuatan otot,
distres perasaan yang hebat.
3.
Kaji karakteristik berduka, kaji respon fisiologis,
respon tubuh terhadap
kehilangan (reaksi stress)
4.
Faktor yang mempengaruhi reaksi stress : umur,
culture, keyakinan
spiritual, peran seks, status sosial ekonomi.
5.
Faktor predisposisi
6.
Faktor
presipitasi dan mekanisme koping.
3.5.2
Diagnosa
1.
Ansietas (ketakutan individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan
takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2.
Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
3.
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,
takut akan hasil (kematian) dengan lingkungnnya penuh dengan stres (tempat
perawatan).
4.
Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidakmampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
1.1.1
Intervensi
Secara umum :
1.
Membina dan meningkatkan hubungan saling percaya
dengan cara :
–
Mendengarkan pasien berbicara
–
Memberi dorongan agar agar pasien mau mengungkapkan
perasaannya.
–
Menjawab pertanyaan pasien secara langsung
–
Menunjukkan sikap menerima dan empati
2.
Mengenali faktor-faktor yang mungkin menghambat.
3.
Mengurangi atau menghilangkan faktor penghambat.
4.
Memberi dukungan terhadap respons kehilangan pasien.
5.
Meningkatkan rasa kebersamaan antar anggota keluarga.
6.
Menentukan tahap keberadaan pasien.
Secara khusus :
1.
Tahap Denial
·
Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan
perasaan.
·
Menunjukan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong
pasien untuk berbagi rasa.
·
Memberi jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien
tentang sakit dan pengobatan.
2.
Tahap Anger
Mengijinkan dan mendorong pasien
mengungkapkan rasa marah sacara verbal tanpa melawan kemarahan :
·
Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien
sebenarnya tidak ditujukan kepada mereka.
·
Membiarkan pasien menangis.
·
Mendorong pasien untuk membicarakan kemarahannya.
3.
Tahap Bargainning
Membantu pasien mengungkapkan rasa bersalah
dan takut :
·
Mendengarkan ungkapan dengan penuh perhatian
·
Mendorong pasien untuk membicarakan rasa takut atau
rasa
bersalahnya
·
Bila pasien selalu mengungkapkan “kalau” atau
“seandainya ….”
beritahu pasien bahwa perawat hanya dapat
melakukan sesuatu
yang nyata.
·
Membahas bersama pasien mengenai penyebab rasa
bersalah dan
rasa takutnya.
4.
Tahap Depression
Membantu pasien mengidentifikasi rasa
bersalah dan takut :
·
Mengamati perilaku pasien dan bersama dengannya
membahas perasaannya
·
Mencegah tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai
derajat risikonya
·
Membantu pasien mengurangi rasa bersalah :
-
Menghargai perasaan pasien
-
Membantu pasien menemukan dukungan yang positif dengan
mengaitkan dengan kenyataan
-
Memberi kesempatan menangis dan mengungkapkan perasaan
-
Bersama pasien membahas pikiran negatif yang selalu
timbul
5.
Tahap Acceptance
Membantu pasien menerima kehilangan yang
tidak bisa dielakkan :
·
Membantu keluarga mengunjungi pasien secara teratur
·
Membantu keluarga berbagi rasa
·
Membahas rencana setelah masa berkabung terlewati
·
Memberi informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan
keluarga.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi
terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien
sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat
meninggal dengan tenang dan damai. Ketika merawat klien menjelang ajal atau
terminal, tanggung jawab perawat harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis,
dan social yang unik. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu
lebih banyak dengan klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien
mengekspresikan duka citanya dan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.
Perawat harus bisa menyelami lebih dalam perasaan pasienya guna
mendapatkan data-data yang valid nantinya, karena didalam mencari data pasien
dibutuhkan kejelian dan ketepatan oleh karena itu perawat harus benar-benar
memahami konsep kehilangan dan duka cita.
0 komentar:
Posting Komentar