PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Allah subhanallahu wa ta’ala menurunkan ajaran Islam ke dunia untuk menjadi rahmat bagi
semua makhlukNya. Dengan mengkaji sumber-sumber khazanah Islam (Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul), maka kita akan menemukan ajaran hidup yang sarat pesan untuk
dapat hidup bahagia, sejahtera, sehat lahir dan batin sebagai kontribusi Islam
kepada kehidupan manusia dan kerahmatannya yang universal. Islam disamping
memperhatikan kesehatan rohani sebagai jembatan menuju ketenteraman hidup
duniawi dan keselamatan ukhrawi, juga sangat menekankan pentingnya kesehatan
jasmani sebagai nikmat Allah subhanallahu wa ta’ala yang sangat mahal untuk
dapat hidup secara optimal. Sebab kesehatan jasmani disamping menjadi faktor
pendukung dalam terwujudnya kesehatan rohani, juga sebagai modal kebahagiaan
lahiriah. Keduanya saling terkait dan melengkapi tidak bisa dipisahkan bagai
dua sisi mata uang. Firman Allah
subhanallahu wa ta’ala dalam yang artinya
: ” Dan di bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang
yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (Q.S. Ad-Dzuriyat ayat 20 - 21.)
Oleh karena
itu, dengan izin Allah subhanallahu wa ta’ala, Islam sangat memuliakan ilmu kedokteran
sebagai misi kemanusiaan. Dengan bukti bahwa Allah subhanallahu wa ta’ala memerintahkan
umat manusia untuk menuntut ilmu, bahkan hukumnya adalah fardhu ‘ain (kewajiban
individual) untuk mempelajarinya secara global dan mengenali sisi biologis di
dalam diri kita sebagai media peningkatan iman untuk semakin mengenal Allah
subhanallahu wa ta’ala, di samping sebagai kebutuhan setiap individu dalam menyelamatkan
dan menjaga hidupnya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
maka rumusan masalah yang akan penulis ungkapkan adalah sebagai berikut :
1.
Apakah
yang dimaksud dengan transplantasi ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan transplantasi di dunia ?
3.
Apakah
tujuan dilakukannya transplantasi ?
4.
Bagaimana
hukum serta alasan agama Islam dalam memandang transplantasi?
5.
Apa
sajakah dasar hukum menurut undang – undang di Indonesia tentang transplantasi
?
1.3
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah
yang telah disajikan di atas maka tujuan penulisan yang akan dicapai sebagai
berikut :
A.
Bagi siswa
1. Memperluas
wawasan mengenai tindakan medis dalam pandangan Islam.
2. Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis
secara sistematis.
3. Melatih diri untuk kritis menanggapi permasalahan yang
hukumnya masih diperdebatkan.
B.
Bagi pengajar
1.
Untuk digunakan sebagai referensi.
2.
Sebagai wujud nyata dari evaluasi / materi yang
diberikan.
1.4
Tujuan Pembahasan
Penyusunan
makalah ini memiliki tujuan, yakni sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui definisi transplantasi organ.
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan transplantasi di dunia.
3.
Untuk
mengetahui tujuan dilakukannya transplantasi.
4.
Untuk
mengetahui hukum serta alasan agama Islam dalam memandang transplantasi.
5.
Untuk
mengetahui dasar hukum menurut undang – undang di Indonesia tentang
transplantasi.
METODE PENULISAN
2.1 Library
(Studi Kepustakaan)
Library (studi kepustakaan)
yaitu suatu cara kerja untuk memperoleh data dengan jalan mempelajari teori -
teori, pendapat - pendapat, majalah - majalah, buku - buku ilmiah, surat kabar
dan tulisan - tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pendapat
- pendapat tersebut diatas adalah pendapat dari para ilmuwan dan para ahli.
Dengan melalui metode library ini akan diperoleh data sekunder,
sesuai dengan pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu data sekunder adalah
data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari objeknya,
tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulisan.
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Transplantasi
Transplantasi (pencangkokan) berasal dari bahasa
inggris to transplant, yang berarti to move from one place to other, bergerak
dari satu tempat ke tempat yang lain.
Transplantasi adalah pemindahan
organ tubuh dari orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya
hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak
berfungsi lagi, sehingga resipien ( penerima organ tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat
(M.Ramdan Arifin “Transplantasi Organ Tubuh Dalam Perspektif Islam” ; Sinar Muhammadiyah 11-30 Sep
2008; Hal 19).
Adapun pengertian
menurut ilmu kedokteran, transplantasi adalah pemindahan jaringan atau organ
tubuh dari satu tempat ketempat yang lain, yang mana
organ tadi mempunyai daya hidup sehat untuk mengantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur
medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidup lebih lama tidak ada lagi.
Melihat dari pengertian di atas, transplantasi bisa dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
1.
Transplantasi
jaringan
Misal : Pencangkokan kornea mata.
2.
Transplantasi organ
Misal : Pencangkokan
ginjal dan jantung.
-
Organ yang
diambil dari donor hidup : kulit ginjal, sumsum tulang.
-
Organ yang
diambil dari donor jenazah : jantung, hati, ginjal, mata, pancreas, paru –
paru, dan sel otak.
Ada tiga macam pencangkokan jika dilihat dari hubungan
genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dan
resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ) :
1. Auto transplantasi, yaitu
transplantasi yang mana pendonor dan
resipiennya masih dalam satu
individu.
Contoh : Orang yang melakukan operasi pipi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan
daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
Pada auto transplantasi hampir tidak pernah
mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan
hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup
lama.
2. Homo
transplantasi, yaitu
transplantasi di mana donor dan resipiennya tidak dalam satu individu, tetapi sama
jenisnya (manusia dengan manusia).
Namun pada homo transplantasi ini bisa jadi donor dan resipiennya dua
individu yang masih hidup; bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal
dunia yang disebut cadaver donor, sedangkan resipiennya
masih hidup.
Pada homo
transplantasi ada tiga kemungkinan ;
a. Apabila
resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka
transplantasi hampir selalu tidak mendapatkan reaksi penolakan, dan hasilnya
sama dengan hasil auto transplantasi.
b. Apabila resipien dan donor adalah
saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan
dalam golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi lebih kecil
daripada golongan ketiga.
c. Apabila
repesien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka
kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan
reaksi penolakan.
3. Hetero
transplantasi, yaitu, donor
yang resipiennya dua individu yang berlainan jenis, seperti transplantasi yang
donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia
Pada hetero
transplantasi hampir selalu menyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang
sangat hebat dan sukar sekali diatasi.
Maka dari itu penggunaannya masih terbatas pada binatang percobaan.
3.2 Sejarah Perkembangan Islam di
Dunia
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia
sejak 4000 tahun silam menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat
uraian mengenai eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan.
Tatkala Islam muncul pada abad ke-7 M, ilmu bedah
sudah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu,
seperti dua negara adi daya, Romawi dan
Persia. Namun pencangkokan
jaringan belum mengalami perkembangan yang berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya
untuk mengembangkannya. Selama
ribuan tahun setelah melewati banyak eksperimen, barulah berhasil
pada akhir abad ke-19 M untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad
ke-20 M untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam,
Islam telah memperhatikan masalah kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berupaya
menjamin kesehatan dan pengobatan bagi seluruh rakyatnya secara cuma-cuma. Ada
beberapa dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti Al-Harth
bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga Rafidah Al Aslamiyah dari kaum wanita.
Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh
dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu
sudah dikenal di masa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang
diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu
Dawud, hadits. no.4232) “Bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong
hidungnya pada Perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak,
namun hidung tersebut mulai membau (membusuk), maka Rasulullah salallahu
‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas”.
Imam Ibnu Sa’ad juga telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa
‘Utsman (bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya
lebih kuat (tahan lama).
Pada periode Islam selanjutnya, berkat
doktrin Islam tentang urgensi kedokteran mulai bertebaran karya-karya
monumental kedokteran yang banyak memuat berbagai praktek kedokteran, termasuk
transplantasi dan sekaligus mencuatkan banyak nama besar dari ilmuwan muslim
dalam bidang kesehatan dan ilmu kedokteran, diantaranya adalah Al-Rozy (Th 251-311 H)
yang telah menemukan dan
membedakan pembuluh vena dan arteri di samping
banyak membahas masalah kedokteran yang lain seperti, bedah tulang dan gips
dalam bukunya Al-Athibba. Lebih jauh
dari itu, mereka bahkan telah merintis proses spesialisasi berbagai kajian dari
suatu bidang dan disiplin. Az-Zahrawi ahli kedokteran muslim telah
berhasil dan menjadi orang pertama yang memisahkan ilmu bedah dan menjadikannya
subjek tersendiri dari bidang ilmu kedokteran.
Beliau telah menulis sebuah buku besar yang monumental dalam bidang kedokteran
khususnya ilmu bedah dan diberi judul At-Tashrif. Buku
ini telah menjadi referensi utama di Eropa dalam bidang kedokteran selama
kurang-lebih lima abad dan sempat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia
termasuk bahasa latin pada tabun 1497 M. Dan pada tahun 1778 M dicetak dan
diterbitkan di London dalam versi arab dan latin sekaligus. Dan masih banyak lagi
nama-nama populer lainnya seperti Ibnu Sina.
3.3 Tujuan Transplantasi
Tujuan dari transplantasi tak lain
adalah sebagai pengobatan dari penyakit karena Islam sendiri memerintahkan manusia
agar setiap penyakit diobati, karena
membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian, sedangkan membiarkan diri
terjerumus dalam kematian (tanpa ikhtiar) adalah perbuatan terlarang, sebagaimana firman Allah subhanallahu wa ta’ala dalam Al - Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 “Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”. Maksudnya apabila sakit maka manusia
harus berusaha secara optimal untuk mengobatinya sesuai kemampuan, karena setiap penyakit sudah
ditentukan obatnya. Maka
dalam hal ini transplantasi
merupakan salah satu bentuk pengobatan.
Namun
persoalannya adalah bagaimana hukum dan
pandangan Islam mendonorkan
organ tubuh untuk transplantasi tersebut,
baik
dari yang masih hidup maupun dari organ tubuh manusia yang telah meninggal. .
3.4 Hukum dan Alasan Islam dalam Memandang Transplantasi
Sampai saat ini, transplantasi organ tubuh yang banyak
dibicarakan di kalangan ilmuwan dan para alim ulama’ adalah mengenai
tiga macam organ tubuh yaitu mata, ginjal, dan jantung. Hal ini dapat dimaklumi karena organ tubuh tersebut sangatlah vital bagi
kehidupan manusia. Namun, sebagai akibat ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih, maka di masa yang akan datang, transplantasi mungkin juga
berhasil dilakukan untuk organ-organ tubuh lainnya, mulai dari kepala hingga
kaki, termasuk organ tubuh bagian dalam, seperti rahim wanita. Namun apa yang
bisa dicapai oleh teknologi, belum tentu diterima begitu saja oleh agama dan
hukum yang ada di masyarakat. Mengingat bahwa transplantasi adalah
masalah ijtihad yang dalil-dalilnya tidak disebut secara eksplisit di
dalam Al-Qur’an dan
hadis.
Untuk menentukan hukum boleh tidaknya transplantasi
organ tubuh, perlu dilihat kapan pelaksanaannya. Berikut hukum
transplantasi sesuai tipe donor
organ tubuh keadaannya masing-masing :
1. Donor dalam
keadaan hidup dan sehat.
·
Hukum :
MUBAH (boleh)
·
Dasar hukum
dan alasan :
Tubuh
manusia adalah amanah. Hidup, diri, dan
tubuh manusia pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari
Allah yang harus dijaga, karena
itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan nya kepada orang lain. Tubuh manusia
tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata yang dapat
dipotong dan dipindah-pindahkan karena transplantasi
dilakukan dengan memotong organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh
orang lain. Namun memindahkan
organ tubuh ketika darurat merupakan pekerjaan yang mubah ( boleh ) dengan
dalil firman Allah Subhanallahu wa ta’ala
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan
perbuatan-perbuatan yang haram bagimu kecuali ketika kamu dalam keadaan
terpaksa (darurat)”(Q.S Al-An’am
ayat
119).
Oleh karena itu, jika pendonoran organ tubuhnya, atau kulitnya, atau darahnya tidak membawa kepada kematian serta tidak membawa kepada kehancuran dirinya, ditambah lagi pada waktu bersamaan pendonoran organnya dapat menyelamatkan manusia lainnya dari kekhawatiran akan kematian, maka sesungguhnya perbuatan donor organ tubuhnya merupakan perbuatan yang mulia. Seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain untuk menyelamatkan hidupnya merupakan perbuatan saling tolong – menolong atas kebaikan sesuai firman Allah subhanalaahu wa ta’ala “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Ma’idah ayat 2).
Oleh karena itu, jika pendonoran organ tubuhnya, atau kulitnya, atau darahnya tidak membawa kepada kematian serta tidak membawa kepada kehancuran dirinya, ditambah lagi pada waktu bersamaan pendonoran organnya dapat menyelamatkan manusia lainnya dari kekhawatiran akan kematian, maka sesungguhnya perbuatan donor organ tubuhnya merupakan perbuatan yang mulia. Seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain untuk menyelamatkan hidupnya merupakan perbuatan saling tolong – menolong atas kebaikan sesuai firman Allah subhanalaahu wa ta’ala “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Ma’idah ayat 2).
Allah
subhanallahu
wa ta’ melarang manusia untuk
membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan
kebinasaan.
Sedangkan orang yang mendonorkan
salah satu organ tubuhnya,
secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran
dan kebinasaan.
Padahal manusia tidak disuruh
berbuat demikian, manusia hanya disuruh
untuk menjaganya (organ tubuhnya). Dalam kasus ini, orang yang
menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak
mempunyai ginjal kemungkinan ia akan
menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak
normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal satu itu. Sesungguhnya perbuatan mengambil
salah satu organ tubuh adalah perbuatan yang membawa kemudharatan, sedangkan
perbuatan yang membawa kepada kemudharatan
merupakan perbuatan yang dilarang
sesuai hadist Nabi
Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam yakni “Tidak boleh melakukan pekerjaan yang membawa
kemudharatan dan tidak boleh ada kemudharatan”.
Allah berfirman dalam surat
Al-Baqaroh 195 yang
artinya“ Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan dan berbuat
baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Serta
firman
Allah subhanallahu wa ta’ala
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang
kepadamu”
( Q.S.An-Nisa
ayat 29). Juga dalam Q.S
Al – An’am ayat 151 yang artinya : “Dan
janganlah kamu mendekati perbuatan – perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab ) yang benar” (Q.S
Al An’am ayat 151).
Namun dalam
pendonoran organ dalam kasus ini ada larangan yaitu tidak diperbolehkan
mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur
adukkan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau atau donor
indung telur bagi perempuan. Sabda Rasulullah : “Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau
mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat
Allah,Malaikat dan seluruh manusia”. Selain itu beliau juga bersabda : “Wanita manapun yang telah memasukkan nasabnya
pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari
Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki – laki manapun yang menolak anaknya
padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab
diriNya dari laki – laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) di
hadapan orang – orang yang terdahulu maupun yang kemudian”. Adapun donor
kedua testis maupun kedua indung telur, akan mengakibatkan kemandulan, tentu
hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
2. Donor dalam
keadaan sakit
(koma) atau hampir meninggal.
·
Hukum: HARAM.
·
Dasar hukum
dan alasan :
Sebagaimana
hadits Rasulullah “Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain” (HR. Ibnu
Majah). Dalam kasus ini
adalah membuat mudharat pada
diri orang lain, yakni pendonor yang dalam keadaan sakit (koma). Seseorang tidak boleh menyebabkan meninggalnya orang lain.
Dalam kasus ini, orang yang
sedang sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut.
Sekalipun tujuan dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk
menyembuhkan sakitnya orang lain (resipien).
3. Donor dalam
keadaan meninggal.
Hukumnya (ada
yang membolehkan dan ada
yang mengharamkan).
Pendapat :
Apabila pencangkokan dilakukan ketika
pendonor telah meninggal,baik
dinyatakan secara medis maupun yuridis ada dua hukum dalam Islam yaitu :
-
Yang membolehkan, menggantungkan
pada beberapa syarat :
·
Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam
jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak
berhasil. Pengobatan
dengan transplantasi merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati
orang yang menderita penyakit tersebut.
·
Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit
yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum
pencangkokan. Tidak diperbolehkan
melakukan transplantasi oleh yang belum berpengalaman dan dengan cara
eksperimen.
·
Adanya keikhlasan dari pendonor. Keinginan
untuk mendonorkan organ tubuhnya memang muncul sendiri tanpa
ada paksaan.
Ada persetujuan / izin
dari pemilik organ asli (atau wasiat ) atau dari ahli warisnya (sesuai
tingkatan ahli waris) dengan niat untuk menolong bukan untuk memperjual
belikan dan mencari keuntungan secara finansial.
Dasar hukum : Al Qur’an Surat Al - Baqarah ayat 195 yang berbunyi: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah,
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa
Islam tidak membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau
tidak berfungsi organ tubuhnya yang sangat vital, tanpa usaha – usaha
penyembuhan termasuk pencangkokan di dalamnya. Dalam Surat Al-Maidah ayat 32 juga
disinggung yang artinya adalah “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini
sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa
manusia. Dalam kasus ini, seseorang
yang dengan ikhlas menyumbangkan
organ tubuhnya setelah meninggal, maka Islam membolehkan. Bahkan
memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, lantaran
menolong jiwa sesama manusia
atau membantu berfungsinya kembali organ
tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
Sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam : ” Berobatlah
wahai hamba Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan la telah
menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kasus ini, pengobatannya
adalah dengan cara transplantasi organ tubuh. Dalam kaidah hukum
Islam juga disebutkan :”Kemudharatan harus dihilangkan”. Terutama dalam kasus
ini bahaya (penyakit) harus dihilangkan dengan cara transplantasi.
-
Yang
mengharamkan :
Seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya
atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Adapun hukum kehormatan mayat dan
penganiayaan terhadapnya, maka Allah subhanallahu wa ta’ala telah menetapkan
bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan
pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan orang
hidup. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mu’minin ra. bahwa Rasulullah salallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Memecahkan
tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil jantung
atau ginjalnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan
dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan
ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al – Anshari RA,
yang berbunyi :
“Rasulullah salallahu wa ‘alaihi wa
salam telah melarang (mengambil) harta rampasan dan mencincang (mayat musuh)”.
(H.R. Bukhari)
3.5
Undang – Undang di Indonesia tentang Transplantasi.
Dari
segi hukum, transplantasi organ dan jaringan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha
mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah
suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan.
Tetapi karena adanya pengecualian maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam
pidana dan dapat dibenarkan. Di beberapa negara yang telah memiliki
Undang-Undang Transplantasi, terdapat pembatasan dalam pelaksanaan
transplantasi, misalnya adanya larangan untuk transplantasi embrio, testis, dan
ovarium baik untuk tujuan pengobatan maupun tujuan eksperimen. Namun ada pula
negara yang mengizinkan dilakukannya transplantasi organ – organ tersebut di
atas untuk kepentingan penelitian saja.
Di
Indonesia sudah ada undang – undang yang membahasnya yaitu UU No. 36 Tahun 2009
mengenai transplantasi :
Pasal 64
(1)
Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2)
Transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3)
Organ
dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual belikan dengan dalih apapun.
Pasal 65
(1)
Transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2)
Pengambilan
organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan
pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonot dan/atau ahli
waris atau keluarganya.
(3)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun
dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan
kemanfaatannya.
Pasal 67
(1)
Pengambilan
dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian
organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1)
Pemasangan
implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan tertentu.
(2)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau
alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 69
(1)
Bedah
plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2)
Bedah
plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1)
Penggunaan
sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2)
Sel
punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca
embrionik.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Transplantasi organ tubuh yang
dilakukan ketika kondisi pendonor
hidup sehat maka hukumnya mubah
(diperbolehkan) asal organ yang disumbangkan tidak menyebabkan kematian kepada
si pendonor.
2. Transplantasi organ tubuh yang
dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang
dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada
yang berpendapat haram.
4. Undang –
undang yang mengatur tentang transplantasi organ terdapat dalam UU No. 39 Tahun
2009 pasal 64 – 70.
1. Terkait masalah
transplantasi yang masih belum banyak diketahui secara pasti hukumnya oleh
masyarakat, baik tim medis maupun pasien sebaiknya lebih menambah wawasannya
lagi tentang khasanah Islam.
2. Untuk pemerintah, seharusnya lebih menggalakkan
gerakan anti penjualan organ tubuh manusia. Karena, kini penjualan organ tubuh
manusia telah marak, bahkan hingga sampai ke luar negeri. Modus ini bukan
berarti tidak diketahui oleh pemerintah, namun di dalam praktek pelaksanannya
ada orang – orang ‘dalam’ yang terlibat. Mayoritas adalah orang – orang departemen
kesehatan juga. Hal ini menjadi tugas pemerintah yang alangkah baiknya bekerja
sama dengan departemen agama untuk mengatasinya.
0 komentar:
Posting Komentar